ULAMA
Pewaris Para Nabi
A.
Pengertian
Agama
Agama adalah suatu yang sacral dalam kehidupan manusia secara umum dan kaum muslimin secara
khusus. Karena agama diyakini sebagai suatu ajaran wahyu dari sang Pencipta.
Keberadaan agama ditengah-tengah umat ibarat sang penyelamat dari berbagai
malapetaka. Segala kerusakan dan kehancuran di muka bumi tak lain dan tak bukan
adalah akibat ulah tangan kotor para musuh dan perusak agama.
Islam
adalah satu-satunya agama yang benar yang sangat diharapkan kehadirannya untuk
melanggengkan kehidupan di alam ini. Tanpa Islam rasanya sulit bagi manusia
untuk lepas dari berbagai angkara murka yang terdapat pada gelombang kehidupan
yang tak kenal belas kasih.
Keterikatan
antara Islam dan ulama sangatlah erat. Perkembangan dan kemajuan Islam masa
lampau tak lepas dari peran ulama. Di abad modern ini sosok-sosok ulama yang
konsisten dengan agamanya sangat di butuhkan, dalam upaya mengembalikan kaum
muslimin ke masa keemasannya. Yang dimaksud dengan ulama dalam konsep Islam
yang benar adalah seseorang yang menguasai disiplin-disiplin ilmu Islam secara
utuh mulai dari ilmu alat (bahasa, sastra, dll) sampai ilmu pelengkap lalu
menerapkan dalam kepribadian, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Al-Imam
Abu Qasim Al-Ashbahani pernah menyinggung tentang hal ini. Beliau mengatakan :
“ Ulama Salaf menegaskan: Seseorang tidak dinyatakan sebagai Imam dalam agama
Islam sampai dia memiliki beberapa hal sebagai berikut :
v Hapal
berbagai bidang ilmu bahasa arab beserta perselisihannya.
v Hapal
beraneka ragam perselisihan para fuqaha dan para ulama.
v Berilmu,
paham dan hapal tentang i’irab (harakat akhir kata untuk menentukan kedudukan
kata tersebut pada kalimat bahasa arab, pent.) dan perselisihannya.
v Berilmu
tentang Kitabullah (Al-Qur’an) yang mencakup variasi bacaan beserta
perselisihan para ulama tentangnya, tafsir ayat-ayat muhkam dan mutasyabih,
nasikh mansukh dan kisah-kisah yang tertera didalamnya.
v Berilmu
tentang hadist-hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkemampuan
untuk membedakan shahih dan dlaif(lemah), bersambung atau terputus (sanadnya),
mursal daan musnadnya, masyhur dan gharibnya.
v Berilmu
tentang atsar-atsar sahabat.
v Wara’.
v Memelihara
muru’ah (kehormatan diri).
v Jujur.
v Terpercaya.
v Melandasi
agamanya dengan Al-Quran dan Sunah
Apabila seseorang telah
berhasil mengaplikasikan poin-poin diatas pada dirinya, maka ia boleh menjadi
imam dalam madzhab serta berijtihad bahkan menjadi sandaran dalam agama dan
fatwa. Lalu apabila dia gagal, tidak boleh baginya menjadi imam dalam madzhab
dan panutan dalam berfatwa….” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah hal 306-307,
cetakan Dar Rayah)
Para
ulama memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Mereka adalah pewaris
para nabi untuk mengemban misi dakwah Islam kepada segenap manusia. Baik dan
buruknya suatu generasi, suatu kaum, suatu bangsa, suatu negeri, atau suatu
lapisan masyarakat tergantung sejauh mana para ulama menjalankan perannya
sebagai pelanjut dakwah para Nabi di jagat raya ini.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadist :
وان العلماء ورثة الا نبياء, وان الانبياء
لم يور ثوا دينارا ولا د رهما وانماورثوا العلم فمن أخز به أخز بحظ وافر } روا5
ابن ما جه وا بن حبا ن {
“…. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris
para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan uang dinar dan tidak pula uang dirham.
Hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa yang mewarisinya, berarti
dia telah mendapatkan keuntungan yang sempurna. “
(HR. Ibnu Majah
dan Ibnu Hibban)1
Keberadaan ulama pewaris para nabi
di muka bumi merupakan rahmat bagi seluruh anak Adam. Karena tanpa mereka
niscaya kehidupan manusia di seluruh alam ini tak jauh beda dengan kehidupan
binatang. Bukankah kehidupan binatang hanya bertumpu pada pemuasan syahwat
perut dan kemaluan tanpa pernah kenal syariat ? Maka demikianlah kehidupan anak
cucu Adam, kalau tidak ada ulama pewaris Nabi yang mengenalkan syariat kepada
mereka sepeninggal Nabi dan Rasul utusan Allah.
Al-Hasan
Al-Bashri pernah menegaskan hal ini dalam sebuah nasehatnya, beliau berkata:
“Kalau tidak ada ulama niscaya manusia seperti binatang.”(Minhajul Qashidin,
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi hal. 15, cetakan Maktabah Dar Bayan)
B.
Saham Ulama Pewaris Nabi Untuk
Islam
Begitu pentingnya peran ulama
pewaris nabi dalam mengemban misi dakwah Islam, tentu banyak pula saham yang
telah mereka berikan untuk keberlangsungan Islam. Untuk mengetahui bentuk saham
tersebut alangkah baiknya kita menyimak ucapan Syaikh Tsaqil bin Shalfiq
Al-Qashimi tentang mereka. Beliau menjelaskan: “Mereka (ulama pewaris Nabi),
adalah orang-orang yang mengembara dari satu negeri ke negeri yang lain untuk
mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian
mencatatnya dalam lembaran-lembaran dengan metode yang bermacam-macam seperti
(karya tulis berbentuk) musnad2, majma’3, mushannaf4,
sunan5, muwaththa’6, az-zawaid7 dan mu’jam8.
Disamping itu mereka
juga membeda-bedakan para perawi hadits. Mereka mengarang kitab-kitab tentang
para perawi hadits: Yang terpercaya, yang lemah dan para pemalsu hadits. Mereka
menukilkan pula (dalam karangan-karangan tersebut) ucapan para Imam yang
memiliki ilmu dalam bidang pencatatan dan pemujian perawi hadits (para ulama
jarh wa ta’dil). Bahkan mereka membeda-bedakan riwayat-riwayat dari rawi
yang satu antara riwayat-riwayat yang ia diterima dari penduduk negeri Syam,
penduduk negeri Iraq
atau penduduk negeri Hijaz10, Mereka juga membedakan antara riwayat
seorang yang mukhtalath (orang-orang yang kacau hapalannya) 11, mana
hadits-hadits yang diriwayatkan sebelum ikhtilath dan yang diriwayatkan
sesudahnya. Demikian seterusnya.
Sesungguhnya orang yang membidani ilmu hadits dengan
berbagai macam cabangnya, pembagiannya, jenis dan karya-karya tulis tentangnya,
akan benar-benar mengakui besarnya andil mereka (ulama pewaris nabi) dalam
menjaga hadits Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka telah menjelaskan aqidah Ahlus Sunah wal
Jama’ah dengan seluruh bab-bab nya dan membantah para ahlul bid’ah yang
menyimpang darinya. Mereka telah memberikan peringatan agar berhati-hati ahlul
ahwa’ wal bid’ah, melarang duduk bersama mereka dan berbincang-bincang dengan
mereka. Bahkan mereka tidak mau menjawab salam dari ahlul bid’ah, serta tidak
mau menikahkan anak perempuannya dengan mereka dalam rangka menghinakan dan
merendahkan ahlul bid’ah dan yang sejenisnya.
Selanjutnya mereka menulis tentang hal ini dalam banyak tulisan.
Mereka telah mengumpulkan hadits-hadits dan
atsar-atsar yang berkenaan dengan tafsir Al-Quran AL-Adhim, seperti Tafsir Ibnu
Abi Hatim, Tafsir As-Shan’ani, Tafsir AnNaasa’i. Diantara mereka ada yang
mengarang kitab-kitab tafsir mereka seperti Tafsir At-Thabari, Tafsir Ibnu
Katsir dan yang lainnya. Disamping mengarang kitab-kitab tafsir mereka juga
membentuk kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dasar tentang tafsir Al-Qur’an.
Bahkan mereka juga membedakan antara penafsiran yang menggunakan riwayat dengan
penafsiran yang menggunakan rasio.
Keemudian mereka juga meengarang kitab-kitab fiqh
dengan seluruh bab-babnya. Mereka berusaha membahas setiap permasalahan fiqh
dan menjelaskan hukum-hukum syariat amaliyah dilengkapi dengan dalil-dalil yang
rinci dari Al-Qur’an, As Sunah,Ijma’ dan Qiyas(sebagai landasan pembahasan).
Mereka meletakan kaidah-kaidah fiqh dan yang dapat mengumpulkan berbagai cabang
dan bagian (permasalahan) dengan ilat (penyebab) yang satu. Lalu mereka juga
menyusun ilmu ushul fiqh yang mengandung kaidah-kaidah untuk melakukan
istinbath (pengambilan) hukum syariat yang bercabang-cabang. Mereka telah
melahirkan karya-karya yang cukup banyak tentang disiplin-disiplin ilmu fiqh
ini.
Berikutnya juga mengarang kitab-kitab sirah, tarikh,
adab, zuhud, raqaiq(pelembut jiwa), bahasa arab, nahwu, dan bermacam-macam
karangaan di berbagai bidang ilmu yang cukup banyak…”
Demikian keterangan yang dibawakan secara panjang
lebar oleh Syaikh Tsaqil Ibnu Shalfiq Al-Qashimi. (Sallus Suyuf wa Asinnah ‘ala
Ahlil Ahwa wal Ad’iyais Sunnah, hal. 76-77, penerbit Dar Ibnu Atsir)
Dari masa ke masa
para ulama pewaris nabi telah berjasa dalam bidang-bidang ilmu seperti
yang disebutkan diatas. Diantaranya
adalah:
Ahmad bin Hanbal,
Ad-Darimi, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tarmidzi, An-Nasa’i, Malik bin
Anas, Sufyan At-Tsauri, Ali bin Al-Madani, Yahya bin said, Al-Qahthan,
Asy-Syafi’I, Abdullah bin Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi, Ibnu Khuzaimah,
Ad-Daruquthuni, Ibnu Hibban, Ibnu ‘Adi, Ibnu Mandah, Al-Lalikai, Ibnu Abi
Ashim, Al-Khalal, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Ibnu abdil Bar, Al Khatib
Al-Baghdadi, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab beserta anak-anak dan
cucu-cucunya yang menjadi ulama Nejd, Muhibuddin Al-Khatib, Muhammad Hamid
Al-Fiqi dari Mesir dan ulama Sudan, para ulama Maroko dan Syam, dan seterusnya.
Kemudian ulama masa kini
yang berjalan di atas manhaj ulama terdahulu seperti
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
(mufti negara Saudi Arabia), Syaikh ahlul hadits Muhammad Nashiruddin
Al-Albani, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh, Syaikh Shalih Al-Fauzaan,
Shalih Ak-Athram, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Abdullah Al Ghadyan, Shalih
Al-Luhaidan, Abdullah bin Jibrin, Abdur Razaq Afifi, Humud At-Tuwaijiri, Abddul
Muhsin Al-Abbad, Hammad Al-Anshari, Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Muhammad Aman
Al-Jami’, Ahmad Yahya An-Najami, Zaid Muhammad Hadi Al-Madkhali, Shalih
Suhaimi, Shalih Al-‘abbud dan para ulama lain yang berada di alam Islami (saat
ini).
Kita memohon petunjuk kepada Allah yang Maha Hidup
dan berdiri sendiri untuk menjaga yang masih hidup dari mereka dan merahmati
yang sudah meninggal.
Mudah-mudahan Allah menjadikan kita semua orang-orang yang mengikuti langkah
mereka dan membangkitkan kita bersama mereka dan Nabi tauladan kita Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di dalam Surga Firdaus. (Lihat Sallus Suyuf hal.
78-79)
0 komentar:
Posting Komentar