MAKNA
SHOLAT
“Shalat
adalah mi’ rajnya orang beriman”, demikian sabda Rasul saw. Alangkah agung
makna sabda tersebut bagi para pecinta. Dalam setiap shalatnya, seorang pecinta
akan bercengkerama dengan Zat yang dicintainya. Sehingga tidaklah heran apabila
banyak riwayat yang menyebutkan bahwa baginda Rasul saw dan para syi’ahnya
selalu menanti-nantikan tibanya waktu pelaksanaan shalat.
Ibadah
shalat merupakan ajang bagi seorang pecintauntuk secara langsung berkeluh kesah
dan menyampaikan kerinduannya kepada Zat yang dicintainya. Setiap pecinta yang
hendak menunaikan shalat akan mempersiapkan betul keadaan dirinya dengan
berhias sebaik mungkin. Sebabnya, pada saat itu dirinya akan berjumpa dengan
kekasihnya, Allah swt. Ibadah shalat juga merupakan sarana komunikasi antara
manusia dengan Allah swt. Bahkan, boleh dibilang sebgai sarana terbaik. Karena
itulah, dalam berbagai riwayat, disebutkan bahwa shalat merupakan tonggak
agama.
Tujuan
utama dari pelaksanaan ibadah shalat adalah mendekatkan dan selalu mengingatkan
manusia kepada Tuhannya. Dengan begitu, mereka tidak akan sampai terjerumus
dalam lembah kenistaan. Inilah intisari dari uraian yang akan disampaikan Imam
Ali Khamenei dalam bukunya yang amat berharga ini.
Dengan
cara yang memukau, beliau memaparkan tentang makna sebenarnya dari ibadah
shalat dan apa pengaruh positifnya; selain pula mengemukakan tentang apa saja
yang harus dipersiapkan seseorang yang hendak shalat. Uraian beliau yang begitu
padat, gamlang, namun kaya makna ini, memudahkan siapapun untuk memahaminya.
Semoga Allah swt memberikan inayah kepada kita semua sehingga memiliki
kesanggupan untuk mencerna dengan baik apa yang diinginkan penulis dengan
uraiannya tentang shalat.
Makna
Shalat
Bismillahir
Rahmanir Rahim
Dengan
Nama Allah Mahapengasih Mahapenyayang
“Dan
orang-orang yang berpegang teguh dengan al-Kitab (Taurat) serta mendirikan
shalat, (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan
pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (al-A’raf: 170)
Nabi
saw bersabda, “Perbuatan ruku’ dan sujud (dalam shalat) ibarat mengetuk pintu
gerbang alam ghaib. Tatkala seseorang terus-menerus mengetuk pintu tersebut,
niscaya dirinya akan diliputi kebahagiaan tiada tara.”[1]
Ibadah
shalat pada dasarnya merupakan ajang untuk mendekatkan hubungan seseorang
dengan Tuhannya, atau antara Pencipta dengan makhluk-Nya. Dalam hal ini, ibadah
shalat memiliki pengaruh terapis terhadap manusia. Terlebih terhadap mereka
yang hatinya hancur, bersedih lantaran dihimpit kesulitan, atau merasa jiwanya
terganggu dan tertekan. Ibadah shalat menjadikan ruh kita tenang dan pikiran
kita damai. Ibadah shalat merupakan langkah awal yang tulus dalam upaya
menghentikan segenap kejahatan serta kebiasaan buruk seseorang. Dan pada
gilirannya, ia akan menggantikannya dengan pelbagai tindakan positif dan
bermanfaat.
Ibadah
shalat merupakan program kejiwaan untuk menemukan, mengembangkan, dan
merekonstruksi jati diri manusia. Pendeknya, ibadah shalat merupakan sarana
menghubung manusia kepada sumber utama segenap kebaikan, yakni Allah swt.
Mengapa iabadah shalat sangat diperintahkan dan dianggap sebagai pilar utama
Islam? Mengapa seluruh amal shalih seseorang tidak dinilai kecuali ia menunaikan
kewajiban shalat hariannya?
Adakah
manfaat lain di balik pelaksanaan ibadah shalat harian kita? Tentu saja, shalat
harian mengandungi manfaat dari perbagai sisi. Kita akan menelaah lebih jauh
tentangnya.
Pertama,
mari kita mencari tahu tentang tujuan penciptaan manusia dari sudut pandang
Islam. Persoalan ini bahkan menjadi pusat perhatian Islam. Kita percaya bahwa
Allah yang Mahakuasa menciptakan kita, manusia, demi suatu tujuan.
Maksudnya,
manusia diharuskan untuk mengikuti jalan yang lurus dan meraih tujuan tertentu
(tanpa penyimpangan apapun). Oleh sebab itu, kita harus benar-benar mengenal
arah dari tujuan tersebut dan senantiasa mengendapkannya dalam benak.
Ketahuilah, barangsiapa yang teguh hati niscaya tidak akan kehilangan pandangan
objektifnya dan akan terus melangkah di atas titian yang lurus. Namun tetaplah
waspada!
Di
samping jalan lurus tersebut, terdapat pula berbagai jalan lain yang terkadang
amat mirip dengannya, namun tidak berujung oada tujuan dan maksud. Ya, ia harus
segera meninggalkan semua itu. Untuk lebih yakin dan aman, seyogianya mereka
mengikuti segenap perintah dan anjuran pemimpin (nabi).
Maksud
dan tujuan dari semua itu adalah terjadinya pertumbuhan dan perkembangan terus
menerus pada diri manusia dalam proses kembali kepada Allah. Kita harus
berusaha mengembangkan segenap potensi kita yang tersembunyi setinggi mungkin.
Hasilnya,
kita akan menemukan kembali jati diri kita serta sanggup memanfaatkan seluruh
keahlian kita demi kebaikan diri –alam dan manusia. Demikianlah, kita harus
mengenal Allah dan mematuhi ketetapan-Nya demi terciptanya kebahagiaan hidup.
Dengan
mengikuti suatu ajaran, seseorang akan memperoleh nilai lebih bagi
kehidupannya. Menghidupkan berbagai kebiasaan baik dan membuang yang buruk akan
menjadikan kehidupan seseorang penuh makna. Hidup tanpa kehati-hatian tiada
berguna dan sia-sia belaka. Di sini kita bisa membandingkan kehidupan kita
dengan belajar di sekolah atau bekerja di sebuah laboratorium. Kita semua tahu,
seseorang tidak akan mendapatkan apapun dari pelajaran atau pekerjaannya itu
apabila tidak mematuhi segenap aturan dan prosedur yang diberlakukan. Demikian
pula dengan mengikuti pelajaran di sekolah kehidupan.
Dalam
hal ini, kita diharuskan untuk menelaah dan memahami segenap hukum dan prinsip hasil
rumusan Allah. Dengan mamatuhi dan menerapkan segenap hukum tersebut dalam
kehidupan sehari-hari, kita niscaya akan mengecap keberhasilan. Melalaikannya,
atau bahkan menentangnya, hanya akan menghasilkan penderitaan. Bukan yang lain.
Agama menyediakan arah dan petunjuk bagi umat dalam mencapai tujuan hidupnya.
Dan, lebih oenting dari itu, agama mendekatkan manusia kepada Tuhan.
Kedekatan
kepada Allah merupakan sebaik-baiknya keadaan yang harus ditempuh umat manusia.
Dengan mengingat Allah, kita akan mengetahui tempat yang akan dituju (demi
meraih kesempurnaan sekaligus menjadi yang terbaik semampu kita). Allah
Mahasempurna dan lambang kebaikan absolut. Mengingat Allah akan menjadikan kita
menempuh arah yang benar.
Selain
pula akan menjulangkan semangat dan keyakinan kita, mengurangi ketakutan dalam
menghadapi kesulitan, dan mencegah dari kesesatan. Masyarakat Islam, secara
keseluruhan maupun individu, tentunya sanggup meniti jalan para Nabi atau
mematuhi segenap doktrin Islam kalau saja mau mengingat Allah. Inilah mengapa
Islam senantiasa berusaha mengingatkan manusia akan keberadaan Allah.
Salah
satu cara paling efektif untuk itu adalah menegakkan shalat harian. Banyak
inspirasi serta daya tarik yang menghunjam diri seseorang yang menunaikan
ibadah shalat. Berbagai pertanda, isyarat, dan rangsangan niscaya muncul demi
menjadikannya sanggup memahami makna kehidupan ini.
Dalam
keseharian hidup, kita jarang menjumpai orang yang benar-benar memikirkan
tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Bergumul dengan kehidupan yang bising
dan tak karuan semacam itu menjadikan seseorang nyaris tak punya waktu luang
untuk berpikir dan merenung. Jam demi jam, hari demi hari, minggu demi minggu,
dan bulan demi bulan berlalu dengan cepat tanpa interupsi. Kita tak tahu lagi,
mana awal dan akhir dari periode kehidupan ini.
Kewajiban
shalat harian –yang dilaksanakan pada selang-selang waktu tertentu dalam
sehari- berperan sebagai alat pengingat yang memberitahukan kita tentang
berjalannya waktu.[2]
Ia tak
ubahnya sebuah program yang dimaksudkan untu menyadarkan kita pada kenyataan
bahwa hari-hari yang kita jalani akan dihisab, kehidupan ini hanyalah sebentar,
sementara kita masih harus menempuh perjalanan panjang. Tugas tersebut sungguh
sangat berat.
Padahal,
batas-batas kehidupan kita semakin hari semakin dekat. Karena itu, seyogianya
kita berdikap lebih bijak dalam menghadapinya. Di bawah tekanan hidup
sehari-hari, seseorang akan mudah kehilangan pandangan dan tujuan hakikinya.
Dalam keadaan demikian, mustahil kita selalu mengingat seluruh janji dan
tanggung jawab yang harus diemban. Ini diperparah dengan sangat sedikitnya
figur-figur dalam masyarakat yang layak diikuti dan diteladani. Dengan keterbatasan
dan kurangnya disiplin diri, kita tentu tidak akan sanggup menunaikan seluruh
kewajiban yang diajarkan Islam. Di sinilah arti penting ibadah shalat harian.
Ibadah
ini merupakan ringkasan padat dari segenap rangkaian doktrin Islam. Ya, shalat
adalah miniatur Islam yang memantulkan prinsip-prinsip utama Islam melalui
gerakan-gerakan dan langkah-langkah yang telah ditetapkan sebelunya. Dalam
banyak hal, sekalipun di tingkat permukaan, terdapat kemiripan antara shalat
dan lagu kebangsaan.
Tentu
saja, keduanya memiliki perbedaan dalam hal makna dan ruang lingkup. Lagu
kebangsaan suatu negeri, yang mengandung sejumlah prinsip ideologis dan
nilai-nilai sosial budaya lainnya, menyimpan ide-ide segar. Dengan terus
mengulang-ulangnya, ide-ide tersebut akan merasuki hati dan pikiran para
pendengarnya, yang pada gilirannya akan membentuk watak tertentu.
Mengumandangkannya
secara bersama-sama akan mengentalkan dan mengokohkan kepercayaan serta
keterikatan mereka terhadap negeri dan idealisme yang dijunjungnya. Mereka
merasa bersatu, berani, dan siap menjalankan kewajibanya.
Singkatnya,
ibadah shalat merupakan jalan Islam yang memunculkan perhatian seseorang
terhadap prinsip-prinsip utama, kewajiban-kewajiban, tanggung jawab, sekaligus
cara untuk melaksanakannya.
Sepanjang
hari seorang muslim diwajibkan untuk menunaikan shalat; mulai dari subuh,
tengah hari, sore hari, magrib, dan malam hari. Dalam keadaan itu, seorang
hamba akan mengulang-ulang segenap prinsip utama, tujuan-tujuan, dan
sasaran-sasaran akhir Islam. Dan pada akhirnya, ia akan mengetahui tugas-tugas
serta tanggung jawabnya (sebagai muslim).
Ia
senantiasa menilai seluruh perbuatannya dan berusaha mengarahkan dirinya ke
jalan yang lurus. Inilah fungsi shalat harian. Dengannya, seorang muslim hakiki
secara bertahap akan sanggup menggapai status kemanusiaan dan spiritual
tertingga. Nabi saw bersabda, “Shalat adalah mi’rajnya orang mukmin.”[3]
Umat
manusia akan menempuh perjalanan panjang dan membosankan dalam mencapai
kesejahteraan dan keselamatan hakiki. Semua itu seyogianya menjadi tujuan serta
maksud dari keberadaannya.
Namun,
pada kenyataannya, jalan menuju tujuan tersebut tidak hanya satu. Dengan kata
lain, banyak tersedia jalan lain yang mengarah ke sana; sebagiannya sangat
gamblang dan menarik, sebagian lainnya berbahaya, dan sisanya samar-samar.
Keadaan
ini tentu akan menyulitkan sekaligus membingungkan siapapun yang bermaksud
menempuh jalan yang benar. Untuk membebaskan diri dari kebimbangan tersebut,
seseorang tentu memerlukan kejelasan tentang tujuan akhir, peta yang baik,
serta petunjuk arah yang sesuai.
Kini
jelas sudah bagi kita tentang teramat pentingnya ibadah shalat lima waktu.
Memberi ruh berbagai santapan bergizi, ibarat memberi tubuh makanan bergizi
beberapa kali dalam sehari. Setiap kali menunaikan ibadah shalat, seseorang
sangat dianjurkan untuk mengumandangkan ayat-ayat suci al-Quran.
Maksudnya
agar orang-orang yang menunaikan shalat menjadi akrab dengan al-Quran dan
memikirkan segenap konsepnya yang mendasar.[4]
Ibadah
shalat wajib harian dengan semua rukunnya, sekalipun dalam skala kecil,
mencerminkan keberadaan Islam yang dinamis. Islam jelas-jelas memiliki
perhatian terhadap keadaan tubuh, pikiran, serta jiwa setiap individu
masyarakat.
Unsur-unsur
tersebut ditempatkan sesuai fungsinya masing-masing demi menciptakan
kesejahteraan umat manusia. Selama menunaikan shalat, tubuh, pikiran, dan jiwa
seorang hamba akan menjalankan fungsinya masing-masing.
Tubuh
melaksanakan berbagai aktifitas ragawi: menggerakkan tangan, kaki, lidah,
ruku’, duduk, berdiri, dan sujud. Sementara pikiran bertugas untuk menelaah
makna kata, kalimat, serta pernyataan, sekaligus juga merenungkan landasan
serta pook-pokok keislaman.
Adapun
jiwa si hamba bertugas untuk merenungkan keberadaan Tuhan, mencari inspirasi,
serta menghayati kedekatannya dengan Tuhan.
Kerendahan
hati dan ketakutan kepada-Nya merupakan prestasi yang dicapai seseorang yang
senantiasa membersihkan jiwanya. Telah dikatakan bahwa pemujaan merupakan
rangkuman serta intisari setiap agama.
Demikian
pula halnya ibadah shalat dalam Islam. Pemaduan jiwa dan tubuh, substansi dan
makna, serta kehidupan dunia dan Hari Akhir merupakan ciri menonjol dari agama
Islam. Dengan bantuan kekuatan dari (fisik, mental, dan spiritual) yang terpadu
lewat penegakan ibadah shalat secara sempurna, seorang muslim akan mampu
menggapai kedudukan yang luhur.
Ya, seorang
‘abid (ahli ibadah) hakiki akan mampu mengendalikan hasrat-hasrat rendah dan
godaan-godaan setani lainnya. Namun bukan hanya pelaksanaan ibadah shalat yang
membuahkan segenap manfaat tersebut. Persiapan untuk melaksanakan shalat juga
memiliki perlbagai hikmah dan manfaat tersendiri. Dalam hal ini, al-Quran
justru lebih banyak mengungkap perihal persiapan untuk menunaikan ibadah shalat
ketimbang poros pelaksanaannya. Misalnya, seorang hamba (yang hendak
melaksanakan shalat) yang mengumandangkan azan (waktu shalat).
Dengannya,
ia tengah mengingatkan sesamanya untuk segera menegakkan shalat. Lebih dari
itu, ia bermaksud mempengaruhi orang lain untuk mengingat Allah swt dan untuk
merenungkan apa yang sedang dilakukan dan apa yang seharusnya dilakukan.
Kalau
kita melihat keadaan seorang hamba dari dekat, kita akan menjumpai adanya
perubahan sikap pada dirinya, baik yang berkenaan dengan perkataan maupun
perbuatannya. Dengan kata lain, dirinya benar-benar memancarkan cahaya Ilahi.
Cakrawala di sekelilingnya dan daya tarik perbuatannya mengundang banyak orang
untuk hadir bersama-sama menunaikan shalat.
Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa seorang mukmin hakiki maupun sekumpulan ahli
ibadah yang senantiasa berdiri dalam barisan shalat wajib (berjamaah) harian niscaya
akan terhindar dari pelbagai problem serta penyakit sosial, seperti kejahatan,
korupsi, dan tindakan-tindakan amoral lainnya. Sesungguhnya shalat mencegah
manusia dari perbuatan-perbuatan keji.[5]
Dalam
pergulatan hidup sehari-hari, kita tentu merasakan sendiri betapa sulitnya
memerangi perbagai godaan, hasrat, kebutuhan, dan dorongan nafsu. Satu-satunya
senjata yang harus dimiliki seseorang demi membungkam semua itu adalah kekuatan
kehendak dan pengendalian diri.
Pada
saat yang sama, kekuatan jahat akan berusaha memalingkan dirinya dari jalan
yang lurus. Dengan hilangnya kendali diri, seseorang pada dasarnya tengah
membuka peluang lebar bagi kekuatan jahat untuk menyesatkannya.
Setan
lebih mengincar dan menyukai orang-orang yang ingin berbuat demi kemanusiaan
atau membuat sesuatu yang bersejarah. Untuk itu, lebih dari yang lain, mereka
harus senantiasa bersikap waspada dan berhati-hati. Itu dimaksudkan agar
semangat serta tujuan hidup mereka tidak sampai goyah.
Ibadah
shalat dalam Islam mengandung kekuatan yang sungguh luar biasa dan menakjubkan.
Dengan kata lain, ibadah shalat berperan dalam membentangkan tali yang
menghubungkan kaum lemah dan tertindas dengan Allah yang Mahakuasa, sumber
segala kebajikan.
Ketika
hubungan tersebut telah terbina, seseorang akan merasakan dirinya jauh lebih
kokoh, tegar, dan stabil. Siapapun tentu bisa memanfaatkan shalat demi mengubah
kelemahan menjadi kekuatan serta demi memperbarui keyakinan dan semangatnya.
Selama
masa kebangkitan Islam, Nabi saw harus menghadapi sekumpulan orang jahil dan
pembangkang. Beliau saw kemudian diperintahkan Allah swt untuk menunaikan
ibadah shalat malam.
“Wahai
orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari,
kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua
itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah al-Quran itu dengan
perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.”
(al-Muzzammil: 1 – 5)
Marilah
kita telaah lebih jauh kandungan makna ibadah shalat harian, tanpa harus
terjebak pelbagai istilah tentangnya.
Ibadah
Shalat
I.
Allahu Akbar (Allah Mahabesar)
Dengan
mengucapkan kalimat pembukaan nan suci ini, seorang hamba akan memulai ibadah
shalatnya. Allahu Akbar, Allah Mahabesar; maksudnya, Allah swt lebih besar dari
yang dapat kita bayangkan; lebih besar dari seluruh tuhan lainyang disembah
manusia sepanjang sejarah; lebih besar dari seluruh kekuatan dan kekuasaan yang
paling menakutkan sekalipun, yang dijadikan sandaran sekaligus tempat
bergantung umat manusia; lebih besar dari orang-orang yang paling berani
membangkang dan melanggar hukum-hukum-Nya. Setiap orang yang mengetahui dan
berupaya menyesuaikan aktifitas kehidupannya dengan prinsip-prinsip tersebut
niscaya akan merasakan adanya kekuatan luar biasa dalam dirinya setelah
mengucapkan kalimat Allahu Akbar. Ia merasa yakin dirinya berpijak di atas
landasan yang kokoh, aman, dan menjanjikan kebahagiaan.
Dengan
mengucapkan kalimat agung ini, seorang hamba resmi memasuki shalatnya. Setelah
itu, masih dalam keadaan berdiri, dirinya diharuskan membaca surat al-Fatihah[6], yang kemudian dilanjutkan dengan membaca
surat lain dalam al-Quran.
II.
Isi Surat al-Fatihah
A.
Bismillahir Rahmanir Rahim (Dengan nama Allah Yang Mahapengasih Mahapenyayang)
Dengan
nama Allah yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu dan kemurahan-Nya bersifat
kekal nan abadi. Kalimat bismillahirrahmanirrahim merupakan pembuka setiap
surat dalam al-Quran dan seyogianya dibaca seorang muslim sebelum memulai
setiap aktifitasnya. Sungguh teramat penting untuk memulai segala sesuatu
dengan nama Allah yang Mahaagung.
Dimulai
dan diakhirinya kehidupan seseorang harus disertai dengan mengucapkan nama
Allah swt. Seorang muslim akan memulai hari-hari kehidupannya di dunia ini
dengan menyebut nama Allah swt.
Dan
dirinya juga harus mengakhiri aktifitas sehari-harinya dengan menyebut
nama-Nya. Ia pergi tidur seraya mengingat dan mengharap pertolongan Allah swt;
demikian pula ketika dirinya bangun di pagi hari untuk memulai kembali kegiatan
rutinnya. Akhirnya, ia meninggalkan kehidupan di dunia fana ini, untuk kemudian
melangkah menuju keabadian, dengan menyebut nama Allah swt.
B.
Alhamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin (Segala Puji Bagi Allah Tuhan Semesta Alam)
Segala
puja-puji hendaknya dipanjatkan ke hadirat Allah swt karena seluruh keagungan
hanyalah milik-Nya dan segenap rahmat hanya tercurah dari-Nya. Segenap
kebajikan dan kesempurnaan hanya kembali kepada-Nya.
Dengan
memuji Allah swt, sesungguhnya kita tengah memuji kebaikan dan kesempurnaan
mutlak. Dan semua itu niscaya akan menuntun kita dalam menggapai kesempurnaan
dan kebaikan insani.
Kita
harus yakin bahwa sejumlah tulang yang kuat dalam tubuh kita semata-mata
berasal dari-Nya. Itulah Dia yang menciptakan kita sedemikian rupa sehingga
kita mampu meraih kebajikan dan menggapai kemuliaan diri. Allah swt telah
menganugerahkan kita kemampuan untuk merancang keputusan demi mencapai suatu
tujuan yang penuh berkah.
Dengan
anugerah Allah swt berupa kemampuan dan kecerdasan diri tersebut, manusia
diharapkan dapat memanfaatkan segenap potensi fitrahnya demi menciptakan
kesejahteraan bagi dirinya dan orang lain. Dan Allah swt melarang manusia untuk
mementingkan dirinya sendiri dan menyia-nyiakan atai menyalahgunakan potensinya
itu.
Pernyataan
Rabbil ‘Alamin (Tuhan semesta alam) menyiratkan bahwasanya selain bumi ini,
terdapat pula bumi-bumi lainnya yang terhubung satu sama lain.
Karenanya,
orang yang beriman akan berpikir bahwasanya di jagat raya ini terdapat banyak
planet, galaksi, dan sesuatu lainnya yang berada di luar jangkauan
penglihatannya yang serba terbatas. Allah swt adalah Pemilik alam semesta dan
segenap apa yang ada di dalamnya.
Dengan
itu, wawasan berpikir seorang hamba akan semakin luas dan mendalam. Dan dirinya
akan merasa bangga dan beruntung dikarenakan memiliki kemampuan untuk memahami
semua itu.
Dirinya
akan menjumpai kenyataan bahwa seluruh umat manusia, hewan, tumbuhan, dan
segenap keberadaan lainnya di jagat raya ini semata-mata diciptakan Allah swt.
Allah swt bukan hanya Tuhan dirinya, sukunya, bangsanya, atau sejenisnya
semata.
Namun,
Allah swt adalah juga Tuhan dari segenap planet, galaksi, dan berjuta-juta
bintang di langit. Allah swt menantiasa mengawasi kita semua serta menyayangi
segenap ciptaan-Nya; mulai dari yang terkecil (seperti semut), sampai yang
paling besar sekalipun (galaksi, misalnya).
Dengan
meyakini konsep tersebut, seorang hamba tidak akan merasa hidup sendirian. Ia
yakin bahwa dirinya merupakan bagian dari keluarga besar umat manusia serta
pelbagai mekhluk lainnya. Lebih khusus lagi, ia akan memiliki hubungan yang
dekat dengan maujud lain yang seolah-olah menyertainya menaiki bahtera yang
sama; bahtera mana yang secara umum bergerak berdasarkan sunnatullah (ketetapan
Allah).
Dengan
meyakini bahwa dirinya memiliki keterkaitan dengan makhluk lain, ia kemudian
merasa berkewajiban untuk membantu dan membimbing umat manusia (ke jalan yang
benar) sesuai dengan kemampuannya.
Selain
itu, ia juga akan semakin terpacu untuk merenungkan dan mengkaji lebih
mendalam, apa-apa yang ada di jagat alam ini. Kelak, ia akan meraih keuntungan
yang melimpah-ruah dari semua itu dan akan senantiasa memanfaatkannya secara
bijak, sesuai dengan fungsinya masing-masing.
C.
Ar-Rahmanir Rahim (Mahapengasih Mahapenyayang)
Secara
umum, kemurahan dan kasih sayang Allah swt meliputi segenap makhluk-Nya. Dengan
kata lain, berdasarkan hukum alam, seluruh makhluk akan memperoleh keuntungan
dari segenap pemberian Allah (Rahman).
Namun,
di sisi lain, terdapat pula kasih sayang dan rahmat Allah swt yang hanya
diperuntukkan bagi umat manusia, khususnya bagi orang-orang yang menyembah-Nya
dan mematuhi segenap perintah-Nya.
Kemurahan
khusus ini bersifat abadi dan akan menantiasa menyertai seseorang untuk
selama-lamanya (Rahim). Berdasarkan itu, kita memahami bahwasanya terdapat dua
jenis rahmat Allah; yang satu bersifat umum dan sementara, di mana setiap orang
bisa mendapatkannya; dan satunya lagi bersifat khusus dan abadi, di mana hanya
diperuntukkan bagi orang-orang yang selalu memperbaiki dirinya.
Penyebutan
nama Allah swt dan pengakuan atas belas kasih-Nya merupakan pernyataan pembuka
dari al-Quran, shalat, dan setiap surat dalam al-Quran. Penempatan kalimat
tersebut lebih menekankan sifat pengasih dan penyayang-Nya ketimbang kemurkaan
dan kemarahan-Nya.
Adapun
sifat yang terakhir disebutkan lebih ditujukan bagi orang-orang yang keras
kepala, gemar membangkang, tidak jujur, dan berperilaku buruk. Ya,
kemurahan-Nya sungguh tak terbatas dan meliputi segenap makhluk-Nya.[7]
D.
Maliki Yaumid Diin (Pemilik Hari Kemudian)
Hari kemudian
adalah Hari akhir. Setiap orang tentu akan mengalaminya. Baik orang-orang ateis
(tidak bertuhan) dan materialis, maupun orang-orang beriman dan bertuhan
sama-sama bersepakat tentang adanya Hari Akhir. Namun, setiap kelompok memiliki
penafsiran masing-masing tentangnya. Kaum materialis lebih memandangnya sebagai
proses mengalir dan berlalunya waktu (jam, hari, dan tahun), yang darinya
kemudian terjadilah ketuaan dan kematian.
Namun,
orang-orang yang beriman kepada Allah swt memiliki pandangan jauh lebih luas.
Dirinya tidak menganggap bahwa kehidupan di dunia berakhir begitu saja.
Sebaliknya, ia meyakini adanya Hari Pengadilan.
Hal
ini meniscayakan dirinya hanya akan melakukan perbuatan yang memiliki ganjaran
pahala seraya menghindari perbuatan dosa, khususnya terhadap mekhluk lain.
Sebabnya,
di Hari Pengadilan kelak, ia akan ditanya tentang apa yang telah diperbuat
selama hidup di dunia. Seseorang yang berpandangan demikian niscaya akan
berusaha menjaga perilakunya dan tetap menyandarkan harapannya semata (kepada
Allah swt) sampai kapan pun. Mengingat bahwa dirinya kelak akan dibangkitkan di
hadapan Allah swt, penguasa Hari Pengadilan, seorang hamba tentu akan berusaha
untuk mengarahkan perhatiannya semata-mata kepada Allah swt dan hanya berbuat
demi menggapai keridhaan-Nya.
Ia
mencari pengetahuan dengan tujuan meningkatkan kualitas dirinya dan juga untuk
membantu manusia. Inilah perbuatan yang sesuai dengan keinginan Allah swt.
Pada
sisi lain, dengan mengetahui bahwa Allah swt akan menjadi hakim absolut di Hari
Pengadilan nanti, dirinya sama sekali tidak akan tertarik untuk melakukan tipu
daya, penyelewengan dan kemunafikan. Ia juga akan berkeyakinan bahwa sesuatu
yang diperoleh dengan cara yang keliru atau kesejahteraan hidup yang dibangun
di atas dasar kezaliman tidak akan pernah menguntungkan dirinya. Sebaliknya, ia
malah akan diganjar hukuman nan pedih atas perbuatannya itu. Sejauh kini kita
telah membahas bagian pertama dari surat al-Fatihah yang berkenaan dengan
pujian kepada Allah swt dan sifat-sifat-Nya. Bagian kedua darinya (yang akan
kita bahas di bawah ini) berkenaan dengan ketundukan seorang hamba kepada Allah
demi memohon keselamatan dari-Nya serta mengharap agar Allah swt membimbingnya
di atas jalan yang lurus. Beberapa ajaran ideologi Islam yang bersifat mendasar
juga ditetapkan dalam bagian ini.
E.
Iyyaaka Na’budu (Kepada-Mu lah Kami Menyembah)
Maksudnya,
segenap keberadaan kita dan apapun kemampuan kita (baik secara fisik, mental,
maupun spiritual) semata-mata berada di tangan Allah swt. Dan kita wajib
melaksanakan segenap perintah-Nya.
Pernyataan
suci ini pada dasarnya menghendaki seorang hamba tunduk patuh di hadapan Allah
swt dan membebaskan dirinya dari segenap belenggu penghambaan kepada
tuhan-tuhan lain. Dirinya wajib menolak seluruh tuhan lain, terlebih
tuhan-tuhan yang dalam sejarah umat menusia di masa lalu telah menciptakan
pembedaan sekaligus penindasan di tengah-tengah masyarakat. Setiap orang yang
beriman tentunya selalu berpikiran maju.
Ia
beserta orang-orang beriman lainnya tidak akan pernah tunduk kepada orang lain
atau sistem tertentu, kecuali orang atau sistem tersebut berpijak di atas jalan
yang diridhai Allah swt.
Prinsip
utama dalam Islam serta segenap agama langit lainnya adalah tidak menyembah
apapun kecuali Allah swt dan hanya tunduk patuh kepada-Nya.
Sejumlah
orang tidak memahami makna yang sebenarnya dari prinsip ini dan secara tidak
sadar menyembah makhluk lain. Mereka menganggap bahwa hanya dengan berdoa
kepada Allah swt dan mengingat nama-Nya, dirinya telah menyembah semata-mata
kepada Allah swt.
Dalam
pandangan al-Quran dan hadis Nabi saw, cara berpikir semacam itu jelas keliru.
Makna penyembahan atau pemujaan dalam al-Quran dan juga hadis Nabi saw adalah
kepatuhan dan ketundukan mutlak terhadap segenap perintah. Perintah tersebut
bisa berasal dari sumber tersendiri ataupun kolektif.
Dan
dalam menunaikan ibadah shalat, seseorang bleh jadi menyertakan
ketundudukannya, atau bahkan tidak sama sekali. Karena itu, siapapun yang
tunduk serta melaksanakan perintah seorang penguasa atau sistem yang zalim yang
tidak mendasari dirinya di atas hukum-hukum Allah swt, tak lain dari pengikut
dan pendukung sang penguasa atau sistem tersebut.
Dan
bila orang-orang seperti itu mengabaikan beberapa ketentuan (penguasa atau
sistem yang zalim) dalam kehidupan pribadi atau sosialnya untuk kemudian
menyembah Allah swt, maka sesungguhnya mereka adalah kaum politeis (menyembah
lebih dari satu tuhan.
Adapun
jika tidak pernah menyembah Allah swt sama sekali, maka mereka tergolong
orang-orang yang kafir (orang-orang yang menyangkal keberadaan Tuhan atau
bertingkah laku seolah-olah Tuhan tidak ada).
Dengan
ditopang pengetahuan tentang Islam, kita dengan mudah dapat menemukan alasan
tentang mengapa seluruh agama langit sebelum Islam sangat menjunjung semboyan
dasar laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan kecuali Allah).[8] Kita
juga akan memahami apa yang mereka katakan, apa tujuan utamanya, dan
siapa-siapa yang menentang.
Konsep
yang berkenaan dengan persoalan penyembahan yang acapkali dinyatakan dalam
al-Quran dan hadis Nabi saw[9] ini
kiranya sangatlah jelas sehingga dipastikan akan menghapus keraguan yang muncul
dalam benak intelektual. Sebagai contoh, al-Quran mengatakan:
“Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain
Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan yang Mahaesa, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
(at-Taubah: 31)
Abu
Bashir meriwayatkan bahwa Imam Ja’far as-Sadiq as berkata kepada para pengikut
beliau, “Kalian adalah orang-orang yang menjauhkan diri dari ketundukan
terhadap segenap aturan yang zalim. Mematuhi seseorang yang zalim adalah sama
dengan menyembahnya.”
Kitab
tafsir Nur ats-Tsaqalain (vol. 5, hal 481) menyebutkan ayat lain yang berbunyi:
“Dan
orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- Nya dan kembali
kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu
kepada hamba- hamba-Ku.” (Az-Zumar (39): 17)
F. Wa
Iyyaaka Nasta’iin (Dan kepada-Mu lah Kami Mengharap Pertolongan)
Kita
tentu tidak akan pernah mengharapkan pertolongan dari musuh-musuh-Nya atau dari
seseorang yang menyebut dirinya tuhan. sebabnya, mereka tidaklah menyembah
Tuhan dan tidak akan bersungguh-sungguh menolong orang-orang yang menyembah
atau mencari Tuhan.
Jalan
Allah adalah jalan lurus dan sangat bersahaja yang dilintasi seluruh nabi.
Jalan tersebut mengajarkan agar dalam kehidupan sosial, setiap individu
menjalin hubungan persaudaraan antar satu sama lain. Lebih dari itu, jalan
tersebut juga menghendaki terwujudnya gagasan tentang kerukunan hidup bersama
antarbangsa.
Sebuah
sistem yang tunduk kepada Allah swt sama sekali bersih dari tindakan pelecehan,
ketidakadilan dan penindasan terhadap sesama. Lagipula, keberadaan manusia dan
nilai-nilai kemanusiaan justru sangat dijunjung tinggi.
Demi
melanggengkan eksploitasinya, hampir semua rezim dan orang yang menggenggam
kekuasaan berusaha mati-matian untuk menghapus cita-cita kemanusiaan tersebut
dari benak masyarakatnya. Jadi, bagaimana mungkin seseorang bisa mengharapkan
bantuan atau dukungan dari para perampas kekuasaan atau penjahat politik
seperti itu?
Mereka
(para rezim yang jahat) secara terus-menerus menentang kebenaran dan begitu
bernafsu memerangi kaum yang beriman. Oleh sebab itu, kita harus meminta
pertolongan semata-mata kepada Allah swt dan berdiri di atas kaki sendiri serta
memanfaatkan bakat dan potensi dasar pemberian-Nya demi meraih tujuan kita.
Mempelajari
prinsip-prinsip yang mendasari ayat ini serta memahami pelbagai hubungan
kompleks yang terkandung di dalamnya, akan membuka wawasan pemikiran dan
meningkatkan standar kehidupan kita.
G.
Ihdinash Shiratal Mustaqiim (Tunjukilah Kami Jalan Yng Lurus)
Seluruh
umat manusia jelas lebih membutuhkan Allah swt ketimbang yang lain sebagai
pembimbing hidup. Dan secara pasti, kebutuhan tersebut nampak sebagai bentuk
pengharapan dalam surat al-Fatihah, yang sekaligus menjadi prolog dari al-Quran
dan juga bagian terpenting dari shalat.
Hanya
lewat bimbingan Allah swt saja kecerdasan dan kebijaksanaan seseorang akan
dimanfaatkan secara konstruktif dan diarahkan semata-mata bagi kebaikan.
Memanfaatkan
kecerdasan dan kebijaksanaan di atas jalan kezaliman dan kebatilan tak ubahnya
memberikan lampu kepada seorang pencuri di tengah kegelapan atau membiarkan
orang gila dengan sebilah pisau belati nan tajam di tangannya. Jalan kebenaran
adalah jalan yang sangat menyenangkan, yang melazimkan seseorang melangkah maju
dan memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia.
Para
nabi Allah lah yang telah merintis dan melintasi jalan ini. Dengan melintasi
jalan ini, niscaya seseorang akan menapaki kemajuan dirinya dan tanpa kesulitan
mampu mencapai tujuan akhirnya yang mulia.
Hal
ini sangatlah masuk akal. Sebabnya, sudah menjadi ketetapan hidup bahwa
seseorang harus mengembangkan dan meningkatkan kualitas dirinya semaksimal
mungkin.
Dan
apabila semua itu dijalankan dengan sungguh-sungguh, niscaya akan tercipta
kemakmuran, kebebasan, sikap saling menghargai, dan rasa persaudaraan dalam
tubuh masyarakat. Dengan demikian, segenap musuh besar kemanusiaan pun akan
segera binasa. Bagaimana cara mengenali jalan ini dan membedakannya dari
segenap jalan yang menyesatkan?
Al-Quran
menyajikan gambaran yang paling ringkas sekaligus paling gamblang dalam ayat
berikutnya, yang akan kita bahas di bawah ini.
H.
Shiraathal Ladhiina An’amta ‘Alaihim (Jalan Orang-orng Yang Engkau Ridhai)
Siapakah
orang-orang yang diridhai dan dirahmati-Nya? Dalam hal ini, yang disebut dengan
rahmat-Nya bukanlah martabat, kesehatan, dan harta yang dimiliki seseorang.
Seabnya,
kita acapkali menyaksikan bagaimana musuh-musuh besar Allah swt dan para
sekutunya hidup bergelimang kekayaan, kedudukan, serta segenap hal lainnya yang
bersifat material. Makna rahmat atau anugerah Allah swt tentunya jauh lebih
tingi dan lebih bernilai dari sekadar itu, seperti luasnya wawasan berpikir,
kebijaksanaan, dan kedalaman spiritual. Sungguh sangat beruntung orang-orang
yang memperoleh segenap nikmat anugerah tersebut; mereka akan benar-benar
menghargai serta menyayangi segenap makhluk ciptaan-Nya, termasuk terhadap
dirinya sendiri.
Dalam
sejumlah ayat, al-Quran menyebut mereka sebagai:
“Barangsiapa
yang menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu; nabi-nabi, para shiddiqin[10], orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang yang shalih…” (an-Nisa’: 69)
Sesungguhnya
ketika membaca ayat yang tercantum dalam surat al-Fatihah ini, seorang hamba
tengah berharap kepada Allah swt untuk menuntunnya di atas jalan para nabi,
para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang yang shalih. Jalan ini telah
terbentang sejak dululkala dan telah banyak dilintasi orang-orang terkemuka
dalam sejarah. Dan adalah teramat jelas, ke mana muara akhir dari jalan
tersebut.
Namun
bagaimanapun juga, disamping jalan ini terbentang pula jalan lain yang
dilintasi sebagian orang. Setiap orang yang beriman kepada Allah niscaya akan
berlepas diri dari jalan tersebut serta dari orang-orang yang melintasinya.
Dirinya benar-benar takut terhempas atau tergoda untuk berjalan di atas jalan
tersebut. Ya, itulah jalan yang dimurkai Allah swt.
I.
Ghairil Maghdhubi ‘Alaihim (Bukan Jalan Orang-orang Yang Engkau Murkai)
Siapakah
orang-orang yang membangkitkan kegusaran dan kemurkaan Allah swt?
Sungguh
teramat banyak! Di antaranya adalah orang-orang yang menentang Allah serta
orang-orang korup yang senantiasa menjerumuskan orang-orang dungu ke dalam
kubangan dosa. Termasuk juga para penindas yang suka memaksa dan menekan
orang-orang untuk berbuat keburukan dan kejahatan, ara tiran, para pendusta,
dan orang-orang culas.
Sepanjang
sejarah, para diktator dan penindas selalu hidup bermewah-mewah di atas
penderitaan serta kehinaan orang banyak.
Ini
sekaligus bisa dijadikan bukti bahwa kemurkaan Allah secara khusus hanya
ditujukan kepada orang-orang yang secara sadar dan sengaja berbuat dosa; bukan
kepada orang-orang yang secara tidak sengaja dan tidak sadar melakukan
kekeliruan atau dosa.
Sejarah
menunjukkan bahwa pada umumnya orang-orang kaya dan orang-orang yang
menggenggam kekuasaan di tangannya memiliki keyakinan agama yang begitu
dangkal. Bahkan beberapa di antaranya sama sekali tidak memilikinya. Di samping
kedua kelompok terkutuk tersebut, terdapat pula kelompok ketiga yang juga
menjadi sasaran kutukan. [11] Isi
ayat penutup (dalam surat al-Fatihah) sesungguhnya merujuk kepada kelompok
terakhir ini.
J. Waladhdhaalliin
(Juga Bukan Jalan Orang-orang Sesat)
Siapapun
yang menapaki jalan selain jalan Allah –lantaran kebodohan atau mengikuti
orang-orang sesat yang dsangkanya melangkah di jalan benar- niscaya kelak akan
menjumpai situasi yang tidak diinginkan. Banyak orang di masa lalu yang
mengikuti, mempercayai, mengagumi, dan menobatkan pemimpinnya secara
membabi-buta. Apa akibatnya?
Ya,
orang-orang tersebut malah terjerumus ke jurang kesengsaraan lantaran perilaku
kotor pada pemimpinnya itu di kemudian hari. Namun sayang, orang-orang tersebut
sudah betul-betul terikat dengan jalan pilihannya sendiri dan akalnya juga
sedemikian terbelenggu sehingga menjadikannya tidak mengindahkan sama sekali
risalah kebenaran yang dikumandangkan para nabi Allah