Selamat Datang Di Blog M.AFIFUDIN, silahkan dilihat-lihat

M.Afifudin

Together we Build, Togther We Can,|Bersama Kita Membangun, Bersama Kita Bisa

M.Afifudin

Together we Build, Togther We Can,|Bersama Kita Membangun, Bersama Kita Bisa

M.Afifudin

Together we Build, Togther We Can,|Bersama Kita Membangun, Bersama Kita Bisa

M.Afifudin

Together we Build, Togther We Can,|Bersama Kita Membangun, Bersama Kita Bisa

M.Afifudin

Together we Build, Togther We Can,|Bersama Kita Membangun, Bersama Kita Bisa

X-Steel - Wait

Pages

Senin, 16 Desember 2013

PENERAPAN KONSTITUSI DEWASA INI

"PENERAPAN KONSTITUSI DEWASA INI"

A.    Sekapur Sirih Konstitusi
Sebagai organisasi pejuangan, HMI dihadapkan dengan berbagai tantangan yang datang silih berganti tanpa henti. Tantangan itupun akan selalu muncul terlebih-lebih dimasa mendatang, yang bentuk dan wujudnya jauh lebih besar dan berat. Ada dua tantangan besar yang dihadapi HMI, yaitu tantangan eksternal dan tantangan internal.
Apabila dalam tubuh manusia ada yang rusak atau sakit, maka yang sangat vital pengaruhnya adalah bagian tubuh dibagian dalam manusia  seperti lambung, usus, jantung dan lain sebagainya yang akan mempengaruhi bagian luar tubuh manusia. Begitu pula dalam tubuh HMI dalam masa ini, dimana telah mengalami sakit yang amat kronis dan apabila dibiarkan sakit maka suatu saat HMI akan hilang dari bumi pertiwi ini. Yang terjadi saat ini di Bumi Tambung Bungai, kader-kader mulai lupa akan hal konstitusi saat ini, bahkan kitab suci HMI dilupakan begitu saja seakan-akan organisasi ini hanya organisasi perkumpulan begitu saja yang hanya mengenal kesenangan semata, sungguh menangis lah HMI.
Konstitusi, disetiap organisasi di Indonesia ataupun hanya dalam lingkup Kalimantan Tengah memiliki makna yang serupa namun terkadang tak sama. Hal ini berkaitan dengan bagaiamana organisasi itu menjalankan system organisasinya. Konstitusi adalah seperangkat aturan atau hukum yang berisi ketentuan-ketentuan dasar suatu organisasi. Oleh karena aturan yang terdapat dalam konstitusi mengatur hal-hal yang amat mendasar dari suatu organisasi, kontitusi dikatakan pula sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam menjalankan roda organisasi. Berdasarkan pengertian diatas, konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis.
B.    Pentingnya Konstitusi Dalam Hmi
Hijarahnya Rasulluah dari Mekkaah ke Madinah, pada tahun ke-23 kenabiannya, membuka era baru bagi Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan Islam. Di Madinah selain bertugas sebagai Rasul yang mengemban risalah Allah, Nabi Muhammad juga berperan sebagai kepala negara, yang warga negaranya tidak hanya terdiri dari kaum muslim saja melainkan juga musyrikin, kaum yahudi, nasrani serat kabilah-kabilahnya.
Untuk mempersatukan warganegara yang majemuk, baik latar belakang sosio kultural maupun keagamaan, dipandang perlu adanya suatu perjanjian yang disepakati bersama. Atas pertimbangan itu kemudian dibuat sebuah perjanjian dan ditandatangani Nabi Muhammad SAW dalam kedudukannya sebagai Rasulullah dan pemimpin tertinggi sebuah negara. Perjanjian itu disebut piagam madinah, yang merupakan konstitusi/ undang-undang dasar pertama di dunia bagi sebuah negara. Dengan perjanjian/ konstitusi inilah yang mampu mengatur kehidupan dan hubungan antara komunitas majemuk di Madinah sehingga tercipta kerukunan yang harmonis diantara perbedaan-perbedaan dalam negara Madinah. Demikinlah pentingnya sebuah konstitusi bagi berjalannya sebuah negara.
Dalam konteks ke-HMI-ian, dimana konstitusi merupakan kitab sucinya HMI atau sering disebut Al-qur’an HMI maka dapat dikatakan demikian dalam ajaran agama Islam konstitusinya adalah Al-qur’an, didalam Negara konstitusinya disebut dengan UUD,  memang menjadi sangat penting bagi berlangsungnya roda organisasi. Dalam konstitusi HMI termaktub aturan main organisasi yang terdiri dari Anggaran Dasar (AD) HMI sebanyak 20 pasal yang terdiri dari 1 pasal aturan tambahan dan Anggaran Rumah Tangga (ART) HMI sebanyak 63 pasal yang terdiri dari 60 pasal aturan pokok, 2 pasal aturan peralihan dan 1 pasal aturan tambahan, pasal-pasal inilah yang menjadi acuan dan kompas bagi perjalanan bahtera organisasi menuju pulau harapan yang termaktub dalam pasal 4 anggaran dasar HMI (Tujuan suci HMI).
Konstitusi sebagai norma sosial dapat menerbitkan pergaulan masyarakat insan cita, penyelesaian sengketa kepentingan secara politis serta mendorong kemajuan bagi organiasai yang bersangkutan.
Pentingnya konstitusi sbb:
1)   Sebagai alat ketertiban dan keamanan dalam perjalanan roda organisasi
2)   Sebagai alat dalam penyelesaian konflik
3)   Sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan dari organisasi
4)   Sabagai sarana penggerak bagi kemajuan suatu organisasi
5)   Sebagai fungsi kontrol perjalanan organisasi
Membangun kesadaran kader dalam komitmen memegang teguh konstitusi, Inilah hal yang paling utama dan urgen dilakukan oleh setiap kader yang katanya punya kepedulian terhadap Himpunan tercinta ini, membangun kesadaran bukan hal gampang untuk dilakukan tetapi membutuhkan komitmen dan kebulatan tekad untuk tetap istiqomah menjalankan agenda-agenda organisasi serta dalam proses dialektika di HMI senantiasa berjalan sinerjis dengan aturan main organisasi yang disebut dengan Konstitusi HMI. Oleh karena itu semua senior selain melakukan didikan secara intelektualitas perlu juga melakukan didikan secara moralitas demi memegang teguh amanah dan tanggung jawab sesuai dengan segala aturan-aturan yang berlaku dimanapun ia berada. Sadar akan hukum yang sering dikumandangkan oleh para penegak hukum di negara ini perlu diresponi dengan baik, budaya taat aturan perlu diterapkan sedini mungkin demi menegmbangkan tradisi taat aturan sehingga perjalanan kita dimanapun senantiasa pberjalan dengan baik.




10 PENYEBAB TIDAK TERKABULNYA DOA

10 PENYEBAB TIDAK TERKABULNYA DOA

Ibrahim bin Adham pernah ditanya oleh salah seorang muridnya, “Mengapa doa kita sering tidak dikabulkan padahal ALLAH memberikan jaminan akan mengabulkan doa hamba-Nya ?”

Ibrahim bin Adham menjawab,“Sesungguhnya ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala.akan selalu mengabulkan doa hamba-Nya, namun ada beberapa perilaku manusia yang menghalangi dikabulkannya doa,yaitu:

1. Kalian mengerti tentang ALLAH, tetapi mengapa kalian tidak menaati-Nya ?

2. Kalian membaca Al-Qur'an, tetapi mengapa kalian tidak mengamalkan isinya ?

3. Kalian mengerti tentang setan, tetapi mengapa kalian mengikuti ajakannya ?

4. kalian mengaku cinta kepada Rasulullah Shallahu 'alaihi wassalam, tetapi mengapa kalian mengingkari sunahnya ?

5. Kalian mengaku cinta pada surga, tetapi mengapa kalian tidak beramal untuknya ?

6. Kalian mengaku takut neraka, tetapi mengapa kalian selalu melakukan dosa ?

7. Kalian mengatakan bahwa mati itu pasti terjadi, tetapi mengapa kalian tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya ?

8. Kalian sibuk mengurus aib atau cela orang lain, tetapi mengapa kalian tidak mau memperhatikan aib sendiri ?

9. Kalian memakan rezeki ALLAH, tetapi mengapa kalian tidak bersyukur kepada-Nya ?

10. Kalian menguburkan mayat,tetapi mengapa kalian tidak mengambil pelajaran ?


Astagfirullah....

Minggu, 13 Oktober 2013

CIRI-CIRI DAN SIFAT ULAMA PEWARIS NABI

CIRI-CIRI DAN SIFAT ULAMA PEWARIS NABI
Didunia ini ulama dibagi menjadi 2 bagian:
1.    Ulama su’ (ulama yang jahat)
2.    Ulama pewaris Nabi
Sifat Ulama Su’ (Ulama Yang Jahat)
Ulama su’ memiliki sifat cinta yang berlebihan terhadap kesenangan dunia. Ibnu Qudamah menjelaskan tentang mereka dengan mengucapkan: “Mereka adalah orang-orang yang bertujuan menggunakan ilmu agama untuk bersenang-senang dengan dunia dan mencapai kedudukan yang tinggi disisi pendukungnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Dari abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda: “Barang siapa yang mempelajari suatu ilmu yang semestinya untuk mencari wajah Allah, (kemudian) dia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapatkansebuah tujuan dunia, dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat nanti.” (HR. Abu dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Ahmad)
Dalam riwayat lain Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Barang siapa yang mempelajari  ilmu agama untuk membanggakan diri terhadap para ulama atau mendebat orang-orang yang bodoh atau mengalihkan perhatian manusia kepadanya, maka dia di neraka.” (HR. Tirmidzi)
Sebagian Salaf menandaskan: “Manusia yang paling menyesal disaat meninggal dunia adalah orang alim yang menyia-nyiakan ilmunya.”

D.      Sifat Ulama Pewaris Nabi
Mereka mengetahui bahwa dunia itu hina dan akhirat itu mulia. Keduanya seperti dua madu (dibawah seorang suami, pent.). Oleh kerena itu mereka lebih mengutamakan akhirat. Hal ini mereka realisasikan dalam bentuk perbuatan yang tidak pernah menyelisihi ucapan mereka. Mereka cenderung mempelajari ilmu yang bermanfaat di akhirat dan menjauhkan ddiri dari ilmu yang sedikit manfaatnya.
Sebagaimana telah diriwayatkan dari Syaqiq Al-balkhi rahimahullah bahwa dia pernah bertanya kepada Hatim: “Engkau telah bergaul denganku beberapa lama, lalu apa yang engkau pelajari (dariku)?’
Hatim menjawab: (aku telah mempelajari) 8 perkara, diantaranya yang pertama:
Aku melihat kepada para mahluk, maka aku dapati setiap orang memiliki kekasih. Namun tatkala ia memasuki kuburannya ia berpisah dari kekasihnya. Disaat itu aku menjadikan kebaikan-kebaikanku sebagai kekasihku agar kekasihku tetap bersamaku di dalam kubur…dst.
Kemudian termasuk sifat ulama akhirat:
§   Mereka menjauhi penguasa dan menjaga diri mereka.
Hudzaifah bin Yaman menasehatkan: “Hindari oleh kalian tempat-tempat fitnah.” Beliau ditanya:”Apa itu tempat-tempat fitnah.”Beliau menjawab:’(tempat-tempat fitnah) adalah pintu-pintu para penguasa. Salah seorang diantara kalian masuk menemui seorang penguasa, lantas dia akan membenarkan penguasa itu dengan dusta dan menyatakan sesuatu yang tidak ada padanya.”
Said bin Musayyib menegaskan:”Jika kamu melihat seorang alim bergaul dengan penguasa, maka hati-hatilah darinya karena sesungguhnya dia adalah pencuri.”
Sebagian Salaf menjelaskan:”Sesungguhnya tidaklah kamu mendapatkan sesuatu kehidupan dunia (dari para penguasa) melainkan mereka telah memperoleh dari agamamu sesuatu yang lebih berharga darinya.”
§   Mereka tidak terburu-buru dalam berfatwa (sehingga mereka tidak berfatwa kecuali setelah menyakini kebenarannya).
Adalah para Salaf saling menolak untuk berfatwa sampai pertanyaan kembali lagi kepada orang yang pertama (di tanya).
Abdurrahman bin Abi Laila menceritakan kisahnya: “Aku pernah mendapati di masjid (nabi) ini 120 orang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tidak ada seorang pun dari mereka saat ditanya tentang suatu hadits atau fatwa melainkan dia ingin saudaranya (dari kalangan shahabat yang lain) yang menjawabnya. Kemudian tibalah masa pengangkatan kaum-kaum yang mengaku berilmu saat ini. Mereka bersegera menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kalau seandainya pertanyaan ini dihadapkan kepada Umar bin Khattab, niscaya beliau mengumpulkan ahli Badar untuk di ajak bermusyawarah dalam menjawabnya.”
§   Ulama akhirat mayoritas pembahasan mereka adalah ilmu yang berkaitan dengan amal dan perkara-perkara yang dapat merusakannya, mengotori hati dan membangkitkan was-was. Hal ini disebabkan karena membentuk amalan-amalan sangat mudah sedangkan membersihkan amat sulit. Kaidah dasarnya adalah: “Menjaga diri dari kejelekan tidak akan bisa terjadi hingga ia mengetahui tentang kejelekan.”
§   Ulama akhirat selalu membahas atau mencari rahasia amalan-amalan yang di syariatkan dan memperhatikan hikmah-hikmahnya. Jika mereka tidak mampu menyibak tabir rahasianya, mereka tetap bersikap pasrah dan menerima syariat Allah.
§   Termasuk sifat Ulama Akhirat adalah mengikuti para shahabat dan orang-orang pilihan dari kalangan tabi’in selanjutnya mereka menjaga diri dari setiap perkara baru dalam agama (bid’ah).
(disadur dari Minhajul Qashidin karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi hal. 23-26, Maktabah Dar bayan Muassah ‘Ulumul Qur’an)
E.       PUJIAN ALLAH TERHADAP ULAMA
            Setelah kita mengetahui peranan penting para ulama dalam melanggengkan keberlangsungan dakwah Islam, rasanya sangatlah tepat Allah memuji mereka dalam banyak ayat Al-Qur’an. Diantaranya Allah berfirman:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalaulah mereka menyerahkan urusannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti syaithan, kecuali sebagian kecil saja (diantara kamu).”(An-Nisa:83)
            Imam Al-Hasan Al-Basri dan Al-Qatadah menafsirkan:”Ulil amri dalam ayat ini adalah ahlul ilmi dan fiqh.”(Tafsir Thabari jilid 3 juz 5 hal.177 cet. Dar.Kutub Ilmiyyah)
            Allah juga berfirman:
“Allah memberikan kesaksian bahwasanya tidak ada ilah melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga memberikan kesaksian demikian). Tidak ada ilah melainkan Dia, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Ali Imran:18)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan menyatakan: “…ini kedudukan yang mengandung keistimewaan agung bagi para ulama….”(Tafsir Ibnu Katsir, jilid I hal.360, cet.Dar.Ma’rifah)
Lihatlah bagaimana dalam ayat ini Allah menggandengkan antara persaksian orang-orang berilmu dengan persaksian Allah sendiri dan malaikat-Nya. Hal ini menunjukan keutamaan yang agung bagi para ulama.”(Sallus Suyuf hal.63)
Allah berfirman:
“Katakan: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”(Az-Zumar:9)
            Imam Al-Qurthubi mengomentari ayat ini dengan menyatakan: “Orang yang berilmu adalah orang yang bisa mengambil manfaat dari ilmunya dan tidak bisa mengambil manfaat dari ilmunya dan tidak mengamalkannya, maka ia bukan seorang yang berilmu…..”(Tafsir Qurthubi jilid 8 juz 15 hal. 156, cetakan Dar Kutub Ilmiyyah)
            Tentunya pertanyaan Allah disini adalah pertanyaan “pengingkaran”. Yang jelas jawabannya adalah: “Tidak sama.” Maka dari pemahaman ini ayat diatas menunjukkan keutamaan ulama dari yang bukan ulama.
            Syaikh Tsaqil Ibnu Shalfiq Al-Qasami mempertegaskan hal ini. Beliau menyatakan:”Lihatlah bagaimana dalam ayat ini Allah memuliakan para ulama! (Allah menjelaskan) bahwa orang yang tidak berilmu tidak sama kedudukannya dengan orang yang berilmu.”(Sallus Suyuf hal.63)
            Allah berfirman:
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…..”(Al-Mujadalah: 11).
Imam Al-Qurthubi menafsirkan ayat diatas dengan menyatakanMaksud (Allah meninggikan mereka) adalah dalam hal pahala di akhirat dan kemuliaan di dunia. Maka Allah mengangkat derajat orang yang beriman diatas orang yang beriman, dan mengangkat derajat orang yang berilmu diatas derajat orang yang tidak berilmu. Ibnu Mas’ud berkata: “Dalam ayat ini Allah memuji para ulama.”Makna ayat ini adalah Allah mengangkat (derajat) orang yang beriman dan berilmu diatas orang yang beriman namun tidak berilmu beberapa derajat dalam agama mereka jika mereka melaksanakan apa yang diperintahkan Allah…”(Tafsir Qurthubi jilid 9 juz hal. 194, cetakan Dar Kutub Ilmiyyah)
            Demikianlah beberapa ayat beserta tafsirannya yang mengandung pujian terhadap para ulama. Tentunya banyak ayat lain yang senada dengan ayat-ayat diatas. Kami membawakan sebagian saja unttuk meringkas pembahasan kita ini. Keterangan diatas sekali lagi menunjukan kepada kita bahwa para ulama adalah orang-orang yang mulia disisi Allah sehingga menjadi sebab turunnya rahmat di alam ini. Oleh karena itu semua muslimin memiliki kewajiban memuliakan para ulama pewaris nabi sebagaimana Allah telah memuliakan mereka. Barang siapa yang ingin menanam saham dalam menghancurkan dan merusak Islam, tentu ia akan menjatuhkan kehormatan dan meninggalkan para ulama.
            Cinta pada para ulama adalah salah satu tanda bagi seseorang bahwa dia Ahlus Sunah. Al-Imam Abu Utsman As-Shabuni mengatakan: “salah satu tanda dari Ahlus Sunah adalah mereka (Ahlus Sunnah) cinta kepada para Imam Sunnah, para ulama sunnah dan para wali Sunnah. Disamping itu mereka benci kepada para Imam ke bid’ahan yang menyeru ke neraka dan menunjukan para pengikutnya ke tempat kebinasaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghiasi dan menyinari hati dengan cahaya cinta kepada para ulama sunah sebagai sebuah keutamaan dari Allah ‘aza wa Jalla.”(Aqidatus Salaf Ash-Habul Hadits karya Abu Utsman Ashabuni hal. 121 cetakan Maktabah Ghuraba Al-Atsariyah)
            Adapun membenci para ulama merupakan salah satu tanda bagi seorang bahwa ia adalah Ahlul Bid’ah. Mengenai hal ini, Abu Utsman Ashabuni berkata ; Tanda-tanda  Ahlul  Bid’ah sangat jelas dan nampak pada diri mereka. Tanda mereka yang paling menonjol dan nampak jelas adalah permusuhan mereka yang keras, penghinaan dan pelecehan terhadap ulama pembawa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Mereka menggelari para ulama dengan sebutan “orang dungu”, “bodoh”,”tekstual”dan “orang yang suka menyerupakan Allah dengan makhluk–Nya “dst… (Aqidatus Salaf hal.116)
            Inilah beberapa keterangan seputar pembahasan ulama pewaris Nabi. Kita berharap pada Allah, mudah-mudahan tulisan ini bermamfaat bagi kaum muslimin dalam mengenali para ulama yang berada di tengah-tengah mereka.
            Ya Allah! Jadikanlah kami para hamba-Mu yang gigih dalam membela agama-Mu dan terimalah amal-amal kami sebagai amal yang berbuah hasil ridho di sisi-Mu. Amin,ya Rabbul ‘alamin.

Maraji’ (Daftar Pustaka):

1.   Al-Hujjah fi bayanil Mahajjah, Abul qasim Al-Ashbahani, tahqiq dan dirasah Muhammad bin Rabi’ bin Hadi Umair Al-Madkhali, cetakan dar Rayah.S
2.   Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, cetakan Maktabah Dar Bayan.
3.   Sallus Suyuf wal Asinnah ‘ala Ahlil Ahwa wal Ad’iyais Sunnah, Dar Ibnu Atsir.
4.   Minhajul Qasidhim, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, penerbit Maktabah Dar Bayan & Muassah “Ulumul Qur’an.
5.   Tafsir Thabari jilid 3 juz 5, Imam Thabari, penerbit Dar Kutub Ilmiyyah.
6.   Tafsir Ibnu Katsir jilid1, Ibnu Katsir, penerbit Dar Ma’rifah.
7.   Tafsir Qurthubi jilid 8 juz 15, Imam Al-Qurthubi, penerbit Dar kutub Ilmiyyah.
8.   Aqidatus Salaf Ash-habul Hadits, Abu Utsman As-Shabuni, cetakan Maktabah Ghuraba Al-atsariyah.

ULAMA PEWARIS NABI

ULAMA
Pewaris Para Nabi

A.      Pengertian Agama
Agama adalah suatu  yang  sacral  dalam  kehidupan  manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus. Karena agama diyakini sebagai suatu ajaran wahyu dari sang Pencipta. Keberadaan agama ditengah-tengah umat ibarat sang penyelamat dari berbagai malapetaka. Segala kerusakan dan kehancuran di muka bumi tak lain dan tak bukan adalah akibat ulah tangan kotor para musuh dan perusak agama.
Islam adalah satu-satunya agama yang benar yang sangat diharapkan kehadirannya untuk melanggengkan kehidupan di alam ini. Tanpa Islam rasanya sulit bagi manusia untuk lepas dari berbagai angkara murka yang terdapat pada gelombang kehidupan yang tak kenal belas kasih.
Keterikatan antara Islam dan ulama sangatlah erat. Perkembangan dan kemajuan Islam masa lampau tak lepas dari peran ulama. Di abad modern ini sosok-sosok ulama yang konsisten dengan agamanya sangat di butuhkan, dalam upaya mengembalikan kaum muslimin ke masa keemasannya. Yang dimaksud dengan ulama dalam konsep Islam yang benar adalah seseorang yang menguasai disiplin-disiplin ilmu Islam secara utuh mulai dari ilmu alat (bahasa, sastra, dll) sampai ilmu pelengkap lalu menerapkan dalam kepribadian, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Al-Imam Abu Qasim Al-Ashbahani pernah menyinggung tentang hal ini. Beliau mengatakan : “ Ulama Salaf menegaskan: Seseorang tidak dinyatakan sebagai Imam dalam agama Islam sampai dia memiliki beberapa hal sebagai berikut :
v  Hapal berbagai bidang ilmu bahasa arab beserta perselisihannya.
v  Hapal beraneka ragam perselisihan para fuqaha dan para ulama.
v  Berilmu, paham dan hapal tentang i’irab (harakat akhir kata untuk menentukan kedudukan kata tersebut pada kalimat bahasa arab, pent.) dan perselisihannya.
v  Berilmu tentang Kitabullah (Al-Qur’an) yang mencakup variasi bacaan beserta perselisihan para ulama tentangnya, tafsir ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, nasikh mansukh dan kisah-kisah yang tertera didalamnya.
v  Berilmu tentang hadist-hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkemampuan untuk membedakan shahih dan dlaif(lemah), bersambung atau terputus (sanadnya), mursal daan musnadnya, masyhur dan gharibnya.
v  Berilmu tentang atsar-atsar sahabat.
v  Wara’.
v  Memelihara muru’ah (kehormatan diri).
v  Jujur.
v  Terpercaya.
v  Melandasi agamanya dengan Al-Quran dan Sunah
Apabila seseorang telah berhasil mengaplikasikan poin-poin diatas pada dirinya, maka ia boleh menjadi imam dalam madzhab serta berijtihad bahkan menjadi sandaran dalam agama dan fatwa. Lalu apabila dia gagal, tidak boleh baginya menjadi imam dalam madzhab dan panutan dalam berfatwa….” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah hal 306-307, cetakan Dar Rayah)
Para ulama memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Mereka adalah pewaris para nabi untuk mengemban misi dakwah Islam kepada segenap manusia. Baik dan buruknya suatu generasi, suatu kaum, suatu bangsa, suatu negeri, atau suatu lapisan masyarakat tergantung sejauh mana para ulama menjalankan perannya sebagai pelanjut dakwah para Nabi di jagat raya ini.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadist :
وان العلماء ورثة الا نبياء, وان الانبياء لم يور ثوا دينارا ولا د رهما وانماورثوا العلم فمن أخز به أخز بحظ وافر }  روا5 ابن ما جه وا بن حبا ن {
“…. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan uang dinar dan tidak pula uang dirham. Hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa yang mewarisinya, berarti dia telah mendapatkan keuntungan yang sempurna. “
(HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)1
            Keberadaan ulama pewaris para nabi di muka bumi merupakan rahmat bagi seluruh anak Adam. Karena tanpa mereka niscaya kehidupan manusia di seluruh alam ini tak jauh beda dengan kehidupan binatang. Bukankah kehidupan binatang hanya bertumpu pada pemuasan syahwat perut dan kemaluan tanpa pernah kenal syariat ? Maka demikianlah kehidupan anak cucu Adam, kalau tidak ada ulama pewaris Nabi yang mengenalkan syariat kepada mereka sepeninggal Nabi dan Rasul utusan Allah.
Al-Hasan Al-Bashri pernah menegaskan hal ini dalam sebuah nasehatnya, beliau berkata: “Kalau tidak ada ulama niscaya manusia seperti binatang.”(Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi hal. 15, cetakan Maktabah Dar Bayan)
B.       Saham Ulama Pewaris Nabi Untuk Islam
            Begitu pentingnya peran ulama pewaris nabi dalam mengemban misi dakwah Islam, tentu banyak pula saham yang telah mereka berikan untuk keberlangsungan Islam. Untuk mengetahui bentuk saham tersebut alangkah baiknya kita menyimak ucapan Syaikh Tsaqil bin Shalfiq Al-Qashimi tentang mereka. Beliau menjelaskan: “Mereka (ulama pewaris Nabi), adalah orang-orang yang mengembara dari satu negeri ke negeri yang lain untuk mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mencatatnya dalam lembaran-lembaran dengan metode yang bermacam-macam seperti (karya tulis berbentuk) musnad2, majma’3, mushannaf4, sunan5, muwaththa’6, az-zawaid7 dan mu’jam8.
 Mereka menjaga hadits-hadits Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dari pemalsuan dan tadlis9. Mereka membedakan antara hadits-hadits shahih dari yang lemah. Oleh sebab itu mereka membuat kaidah-kaidah hadits yang mempermudah proses pembedaan antara hadits yang bisa diterima dari hadits yang harus ditolak.
Disamping itu mereka juga membeda-bedakan para perawi hadits. Mereka mengarang kitab-kitab tentang para perawi hadits: Yang terpercaya, yang lemah dan para pemalsu hadits. Mereka menukilkan pula (dalam karangan-karangan tersebut) ucapan para Imam yang memiliki ilmu dalam bidang pencatatan dan pemujian perawi hadits (para ulama jarh wa ta’dil). Bahkan mereka membeda-bedakan riwayat-riwayat dari rawi yang satu antara riwayat-riwayat yang ia diterima dari penduduk negeri Syam, penduduk negeri Iraq atau penduduk negeri Hijaz10, Mereka juga membedakan antara riwayat seorang yang mukhtalath (orang-orang yang kacau hapalannya) 11, mana hadits-hadits yang diriwayatkan sebelum ikhtilath dan yang diriwayatkan sesudahnya. Demikian seterusnya.
Sesungguhnya orang yang membidani ilmu hadits dengan berbagai macam cabangnya, pembagiannya, jenis dan karya-karya tulis tentangnya, akan benar-benar mengakui besarnya andil mereka (ulama pewaris nabi) dalam menjaga hadits Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka telah menjelaskan aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah dengan seluruh bab-bab nya dan membantah para ahlul bid’ah yang menyimpang darinya. Mereka telah memberikan peringatan agar berhati-hati ahlul ahwa’ wal bid’ah, melarang duduk bersama mereka dan berbincang-bincang dengan mereka. Bahkan mereka tidak mau menjawab salam dari ahlul bid’ah, serta tidak mau menikahkan anak perempuannya dengan mereka dalam rangka menghinakan dan merendahkan ahlul bid’ah dan  yang sejenisnya. Selanjutnya mereka menulis tentang hal ini dalam banyak tulisan.
Mereka telah mengumpulkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang berkenaan dengan tafsir Al-Quran AL-Adhim, seperti Tafsir Ibnu Abi Hatim, Tafsir As-Shan’ani, Tafsir AnNaasa’i. Diantara mereka ada yang mengarang kitab-kitab tafsir mereka seperti Tafsir At-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir dan yang lainnya. Disamping mengarang kitab-kitab tafsir mereka juga membentuk kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dasar tentang tafsir Al-Qur’an. Bahkan mereka juga membedakan antara penafsiran yang menggunakan riwayat dengan penafsiran yang menggunakan rasio.
Keemudian mereka juga meengarang kitab-kitab fiqh dengan seluruh bab-babnya. Mereka berusaha membahas setiap permasalahan fiqh dan menjelaskan hukum-hukum syariat amaliyah dilengkapi dengan dalil-dalil yang rinci dari Al-Qur’an, As Sunah,Ijma’ dan Qiyas(sebagai landasan pembahasan). Mereka meletakan kaidah-kaidah fiqh dan yang dapat mengumpulkan berbagai cabang dan bagian (permasalahan) dengan ilat (penyebab) yang satu. Lalu mereka juga menyusun ilmu ushul fiqh yang mengandung kaidah-kaidah untuk melakukan istinbath (pengambilan) hukum syariat yang bercabang-cabang. Mereka telah melahirkan karya-karya yang cukup banyak tentang disiplin-disiplin ilmu fiqh ini.
Berikutnya juga mengarang kitab-kitab sirah, tarikh, adab, zuhud, raqaiq(pelembut jiwa), bahasa arab, nahwu, dan bermacam-macam karangaan di berbagai bidang ilmu yang cukup banyak…”
Demikian keterangan yang dibawakan secara panjang lebar oleh Syaikh Tsaqil Ibnu Shalfiq Al-Qashimi. (Sallus Suyuf wa Asinnah ‘ala Ahlil Ahwa wal Ad’iyais Sunnah, hal. 76-77, penerbit Dar Ibnu Atsir)
Dari masa ke masa  para ulama pewaris nabi telah berjasa dalam bidang-bidang ilmu seperti yang disebutkan diatas. Diantaranya adalah:
Ahmad bin Hanbal, Ad-Darimi, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tarmidzi, An-Nasa’i, Malik bin Anas, Sufyan At-Tsauri, Ali bin Al-Madani, Yahya bin said, Al-Qahthan, Asy-Syafi’I, Abdullah bin Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi, Ibnu Khuzaimah, Ad-Daruquthuni, Ibnu Hibban, Ibnu ‘Adi, Ibnu Mandah, Al-Lalikai, Ibnu Abi Ashim, Al-Khalal, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Ibnu abdil Bar, Al Khatib Al-Baghdadi, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab beserta anak-anak dan cucu-cucunya yang menjadi ulama Nejd, Muhibuddin Al-Khatib, Muhammad Hamid Al-Fiqi dari Mesir dan ulama Sudan, para ulama Maroko dan Syam, dan seterusnya.
Kemudian ulama masa kini yang berjalan di atas manhaj ulama terdahulu seperti Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz (mufti negara Saudi Arabia), Syaikh ahlul hadits Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh, Syaikh Shalih Al-Fauzaan, Shalih Ak-Athram, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Abdullah Al Ghadyan, Shalih Al-Luhaidan, Abdullah bin Jibrin, Abdur Razaq Afifi, Humud At-Tuwaijiri, Abddul Muhsin Al-Abbad, Hammad Al-Anshari, Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Muhammad Aman Al-Jami’, Ahmad Yahya An-Najami, Zaid Muhammad Hadi Al-Madkhali, Shalih Suhaimi, Shalih Al-‘abbud dan para ulama lain yang berada di alam Islami (saat ini).
Kita memohon petunjuk kepada Allah yang Maha Hidup dan berdiri sendiri untuk menjaga yang masih hidup dari mereka dan merahmati yang sudah meninggal. Mudah-mudahan Allah menjadikan kita semua orang-orang yang mengikuti langkah mereka dan membangkitkan kita bersama mereka dan Nabi tauladan kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di dalam Surga Firdaus. (Lihat Sallus Suyuf hal. 78-79)





HADIS ISTINJA

HADIS ISTINJA
WAJIB ISTINJA’ DENGAN BATU ATAU DENGAN AIR
oleh NAILUL AUTHAR (Himpunan Hadits-hadits Hukum) pada 26 Januari 2010 pukul 0:10 ·

■ Hadits No. 147 :
Dari Aisyah, bahwa Nabi SAW. Bersabda : "Apabila salah seorang di antara kamu pergi buang air besar, maka bersucilah dengan tiga buah batu, karena sesungguhnya ia itu telah mencukupinya". (HR Ahmad, Nasa'i, Abu Dawud, dan Dara Quthni, dan Dara Quthni berkata: Sanad hadis ini Shahih-Hasan)



■ Hadits No. 148 :
Dan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW. pernah meliwati dua kubur, lalu ia bersabda : "Sesungguhnya mereka berdua itu disiksa, dan mereka itu tidak disiksa karena dosa besar. Adapun yang seorang dari mereka, karena tidak bertabir diwaktu buang air kecil, dan yang seorang lagi dari mereka, suka mengadu-domba (sesama manusia). " (HR Jama'ah)



■ Hadits No. 149 :
Dan di dalam satu riwayat bagi Bukhari dan Nasa'i (dikatakan): "Dan mereka berdua itu tidak disiksa dalam dosa besar, kemudian Nabi SAW. bersabda : "Ya, adalah salah seorang dari mereka. " Kemudian meneruskan hadits tersebut.



■ Hadits No. 150 :
Dan dari Anas, dari Nabi SAW. (bersabda) : ” Jagalah dirimu dari buang air kecil, karena sebagian besar siksa kubur itu disebabkan karena buang air kecil “ (HR Dara Quthni)


Penjelasan

Perkataan "Maka sesungguhnya ia telah mencukupinya" itu, syarih berkata: Hadis ini
menjadi dalil bagi orang yang berpendapat, bahwa istinja'*) itu cukup dengan batu-batu, dah tidak wajibnya istinja' dengan air.

Perkataan "Dan tidaklah mereka berdua disiksa karena dosa besar", kemudian ia bersabda: "Ya", yakni "sesungguhnya ia itu perkara besar", yakni bukan perkara besar dalam kesukaran penjagaannya, tapi dianggap besar karena bisa mendatangkan siksa.

Perkataan "Jagalah dirimu dari kencing, karena sesungguhhya kebanyakan siksa kubur itu disebabkan karena buang air kecil" itu, syarih berkata: Hadis ini menunjukkan wajibnya menjaga diri dari buang air kecil secara mutlak tanpa dibatas adanya (keperluan untuk) sembahyang.

POSTING | 40 | Sami’na Waato’na !.
Media untuk bersuci dari buang hajat di dalam syariat Islam tidak terbatas hanya pada air saja. Selain air, juga dikenal benda-benda lain yang sah untuk digunakan untuk bersuci.
Di dalam fiqih, dikenal 2 teknik bersuci dari buang hajat, yaitu istinja' dan istijmar.
  1. Istinja` : bermakna menghilangkan najis dengan air. Atau menguranginya dengan semacam batu. Atau bisa dikatakan sebagai penggunaan air atau batu. Atau menghilangkan najis yang keluar dari qubul (kemaluan) dan dubur (pantat).
  2. Istijmar : adalah menghilangkan sisa buang air besar dengan menggunakan batu atau benda-benda yang semisalnya.


MAKNA SHOLAT

MAKNA SHOLAT

“Shalat adalah mi’ rajnya orang beriman”, demikian sabda Rasul saw. Alangkah agung makna sabda tersebut bagi para pecinta. Dalam setiap shalatnya, seorang pecinta akan bercengkerama dengan Zat yang dicintainya. Sehingga tidaklah heran apabila banyak riwayat yang menyebutkan bahwa baginda Rasul saw dan para syi’ahnya selalu menanti-nantikan tibanya waktu pelaksanaan shalat.
Ibadah shalat merupakan ajang bagi seorang pecintauntuk secara langsung berkeluh kesah dan menyampaikan kerinduannya kepada Zat yang dicintainya. Setiap pecinta yang hendak menunaikan shalat akan mempersiapkan betul keadaan dirinya dengan berhias sebaik mungkin. Sebabnya, pada saat itu dirinya akan berjumpa dengan kekasihnya, Allah swt. Ibadah shalat juga merupakan sarana komunikasi antara manusia dengan Allah swt. Bahkan, boleh dibilang sebgai sarana terbaik. Karena itulah, dalam berbagai riwayat, disebutkan bahwa shalat merupakan tonggak agama.
Tujuan utama dari pelaksanaan ibadah shalat adalah mendekatkan dan selalu mengingatkan manusia kepada Tuhannya. Dengan begitu, mereka tidak akan sampai terjerumus dalam lembah kenistaan. Inilah intisari dari uraian yang akan disampaikan Imam Ali Khamenei dalam bukunya yang amat berharga ini.
Dengan cara yang memukau, beliau memaparkan tentang makna sebenarnya dari ibadah shalat dan apa pengaruh positifnya; selain pula mengemukakan tentang apa saja yang harus dipersiapkan seseorang yang hendak shalat. Uraian beliau yang begitu padat, gamlang, namun kaya makna ini, memudahkan siapapun untuk memahaminya. Semoga Allah swt memberikan inayah kepada kita semua sehingga memiliki kesanggupan untuk mencerna dengan baik apa yang diinginkan penulis dengan uraiannya tentang shalat.

Makna Shalat
Bismillahir Rahmanir Rahim
Dengan Nama Allah Mahapengasih Mahapenyayang
“Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan al-Kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (al-A’raf: 170)
Nabi saw bersabda, “Perbuatan ruku’ dan sujud (dalam shalat) ibarat mengetuk pintu gerbang alam ghaib. Tatkala seseorang terus-menerus mengetuk pintu tersebut, niscaya dirinya akan diliputi kebahagiaan tiada tara.”[1]
Ibadah shalat pada dasarnya merupakan ajang untuk mendekatkan hubungan seseorang dengan Tuhannya, atau antara Pencipta dengan makhluk-Nya. Dalam hal ini, ibadah shalat memiliki pengaruh terapis terhadap manusia. Terlebih terhadap mereka yang hatinya hancur, bersedih lantaran dihimpit kesulitan, atau merasa jiwanya terganggu dan tertekan. Ibadah shalat menjadikan ruh kita tenang dan pikiran kita damai. Ibadah shalat merupakan langkah awal yang tulus dalam upaya menghentikan segenap kejahatan serta kebiasaan buruk seseorang. Dan pada gilirannya, ia akan menggantikannya dengan pelbagai tindakan positif dan bermanfaat.
Ibadah shalat merupakan program kejiwaan untuk menemukan, mengembangkan, dan merekonstruksi jati diri manusia. Pendeknya, ibadah shalat merupakan sarana menghubung manusia kepada sumber utama segenap kebaikan, yakni Allah swt. Mengapa iabadah shalat sangat diperintahkan dan dianggap sebagai pilar utama Islam? Mengapa seluruh amal shalih seseorang tidak dinilai kecuali ia menunaikan kewajiban shalat hariannya?
Adakah manfaat lain di balik pelaksanaan ibadah shalat harian kita? Tentu saja, shalat harian mengandungi manfaat dari perbagai sisi. Kita akan menelaah lebih jauh tentangnya.
Pertama, mari kita mencari tahu tentang tujuan penciptaan manusia dari sudut pandang Islam. Persoalan ini bahkan menjadi pusat perhatian Islam. Kita percaya bahwa Allah yang Mahakuasa menciptakan kita, manusia, demi suatu tujuan.
Maksudnya, manusia diharuskan untuk mengikuti jalan yang lurus dan meraih tujuan tertentu (tanpa penyimpangan apapun). Oleh sebab itu, kita harus benar-benar mengenal arah dari tujuan tersebut dan senantiasa mengendapkannya dalam benak. Ketahuilah, barangsiapa yang teguh hati niscaya tidak akan kehilangan pandangan objektifnya dan akan terus melangkah di atas titian yang lurus. Namun tetaplah waspada!
Di samping jalan lurus tersebut, terdapat pula berbagai jalan lain yang terkadang amat mirip dengannya, namun tidak berujung oada tujuan dan maksud. Ya, ia harus segera meninggalkan semua itu. Untuk lebih yakin dan aman, seyogianya mereka mengikuti segenap perintah dan anjuran pemimpin (nabi).
Maksud dan tujuan dari semua itu adalah terjadinya pertumbuhan dan perkembangan terus menerus pada diri manusia dalam proses kembali kepada Allah. Kita harus berusaha mengembangkan segenap potensi kita yang tersembunyi setinggi mungkin.
Hasilnya, kita akan menemukan kembali jati diri kita serta sanggup memanfaatkan seluruh keahlian kita demi kebaikan diri –alam dan manusia. Demikianlah, kita harus mengenal Allah dan mematuhi ketetapan-Nya demi terciptanya kebahagiaan hidup.
Dengan mengikuti suatu ajaran, seseorang akan memperoleh nilai lebih bagi kehidupannya. Menghidupkan berbagai kebiasaan baik dan membuang yang buruk akan menjadikan kehidupan seseorang penuh makna. Hidup tanpa kehati-hatian tiada berguna dan sia-sia belaka. Di sini kita bisa membandingkan kehidupan kita dengan belajar di sekolah atau bekerja di sebuah laboratorium. Kita semua tahu, seseorang tidak akan mendapatkan apapun dari pelajaran atau pekerjaannya itu apabila tidak mematuhi segenap aturan dan prosedur yang diberlakukan. Demikian pula dengan mengikuti pelajaran di sekolah kehidupan.
 Dalam hal ini, kita diharuskan untuk menelaah dan memahami segenap hukum dan prinsip hasil rumusan Allah. Dengan mamatuhi dan menerapkan segenap hukum tersebut dalam kehidupan sehari-hari, kita niscaya akan mengecap keberhasilan. Melalaikannya, atau bahkan menentangnya, hanya akan menghasilkan penderitaan. Bukan yang lain. Agama menyediakan arah dan petunjuk bagi umat dalam mencapai tujuan hidupnya. Dan, lebih oenting dari itu, agama mendekatkan manusia kepada Tuhan.
Kedekatan kepada Allah merupakan sebaik-baiknya keadaan yang harus ditempuh umat manusia. Dengan mengingat Allah, kita akan mengetahui tempat yang akan dituju (demi meraih kesempurnaan sekaligus menjadi yang terbaik semampu kita). Allah Mahasempurna dan lambang kebaikan absolut. Mengingat Allah akan menjadikan kita menempuh arah yang benar.
Selain pula akan menjulangkan semangat dan keyakinan kita, mengurangi ketakutan dalam menghadapi kesulitan, dan mencegah dari kesesatan. Masyarakat Islam, secara keseluruhan maupun individu, tentunya sanggup meniti jalan para Nabi atau mematuhi segenap doktrin Islam kalau saja mau mengingat Allah. Inilah mengapa Islam senantiasa berusaha mengingatkan manusia akan keberadaan Allah.
Salah satu cara paling efektif untuk itu adalah menegakkan shalat harian. Banyak inspirasi serta daya tarik yang menghunjam diri seseorang yang menunaikan ibadah shalat. Berbagai pertanda, isyarat, dan rangsangan niscaya muncul demi menjadikannya sanggup memahami makna kehidupan ini.
Dalam keseharian hidup, kita jarang menjumpai orang yang benar-benar memikirkan tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Bergumul dengan kehidupan yang bising dan tak karuan semacam itu menjadikan seseorang nyaris tak punya waktu luang untuk berpikir dan merenung. Jam demi jam, hari demi hari, minggu demi minggu, dan bulan demi bulan berlalu dengan cepat tanpa interupsi. Kita tak tahu lagi, mana awal dan akhir dari periode kehidupan ini.
Kewajiban shalat harian –yang dilaksanakan pada selang-selang waktu tertentu dalam sehari- berperan sebagai alat pengingat yang memberitahukan kita tentang berjalannya waktu.[2]
Ia tak ubahnya sebuah program yang dimaksudkan untu menyadarkan kita pada kenyataan bahwa hari-hari yang kita jalani akan dihisab, kehidupan ini hanyalah sebentar, sementara kita masih harus menempuh perjalanan panjang. Tugas tersebut sungguh sangat berat.
Padahal, batas-batas kehidupan kita semakin hari semakin dekat. Karena itu, seyogianya kita berdikap lebih bijak dalam menghadapinya. Di bawah tekanan hidup sehari-hari, seseorang akan mudah kehilangan pandangan dan tujuan hakikinya. Dalam keadaan demikian, mustahil kita selalu mengingat seluruh janji dan tanggung jawab yang harus diemban. Ini diperparah dengan sangat sedikitnya figur-figur dalam masyarakat yang layak diikuti dan diteladani. Dengan keterbatasan dan kurangnya disiplin diri, kita tentu tidak akan sanggup menunaikan seluruh kewajiban yang diajarkan Islam. Di sinilah arti penting ibadah shalat harian.
Ibadah ini merupakan ringkasan padat dari segenap rangkaian doktrin Islam. Ya, shalat adalah miniatur Islam yang memantulkan prinsip-prinsip utama Islam melalui gerakan-gerakan dan langkah-langkah yang telah ditetapkan sebelunya. Dalam banyak hal, sekalipun di tingkat permukaan, terdapat kemiripan antara shalat dan lagu kebangsaan.
Tentu saja, keduanya memiliki perbedaan dalam hal makna dan ruang lingkup. Lagu kebangsaan suatu negeri, yang mengandung sejumlah prinsip ideologis dan nilai-nilai sosial budaya lainnya, menyimpan ide-ide segar. Dengan terus mengulang-ulangnya, ide-ide tersebut akan merasuki hati dan pikiran para pendengarnya, yang pada gilirannya akan membentuk watak tertentu.
Mengumandangkannya secara bersama-sama akan mengentalkan dan mengokohkan kepercayaan serta keterikatan mereka terhadap negeri dan idealisme yang dijunjungnya. Mereka merasa bersatu, berani, dan siap menjalankan kewajibanya.
Singkatnya, ibadah shalat merupakan jalan Islam yang memunculkan perhatian seseorang terhadap prinsip-prinsip utama, kewajiban-kewajiban, tanggung jawab, sekaligus cara untuk melaksanakannya.
Sepanjang hari seorang muslim diwajibkan untuk menunaikan shalat; mulai dari subuh, tengah hari, sore hari, magrib, dan malam hari. Dalam keadaan itu, seorang hamba akan mengulang-ulang segenap prinsip utama, tujuan-tujuan, dan sasaran-sasaran akhir Islam. Dan pada akhirnya, ia akan mengetahui tugas-tugas serta tanggung jawabnya (sebagai muslim).
Ia senantiasa menilai seluruh perbuatannya dan berusaha mengarahkan dirinya ke jalan yang lurus. Inilah fungsi shalat harian. Dengannya, seorang muslim hakiki secara bertahap akan sanggup menggapai status kemanusiaan dan spiritual tertingga. Nabi saw bersabda, “Shalat adalah mi’rajnya orang mukmin.”[3]
Umat manusia akan menempuh perjalanan panjang dan membosankan dalam mencapai kesejahteraan dan keselamatan hakiki. Semua itu seyogianya menjadi tujuan serta maksud dari keberadaannya.
Namun, pada kenyataannya, jalan menuju tujuan tersebut tidak hanya satu. Dengan kata lain, banyak tersedia jalan lain yang mengarah ke sana; sebagiannya sangat gamblang dan menarik, sebagian lainnya berbahaya, dan sisanya samar-samar.
Keadaan ini tentu akan menyulitkan sekaligus membingungkan siapapun yang bermaksud menempuh jalan yang benar. Untuk membebaskan diri dari kebimbangan tersebut, seseorang tentu memerlukan kejelasan tentang tujuan akhir, peta yang baik, serta petunjuk arah yang sesuai.
Kini jelas sudah bagi kita tentang teramat pentingnya ibadah shalat lima waktu. Memberi ruh berbagai santapan bergizi, ibarat memberi tubuh makanan bergizi beberapa kali dalam sehari. Setiap kali menunaikan ibadah shalat, seseorang sangat dianjurkan untuk mengumandangkan ayat-ayat suci al-Quran.
Maksudnya agar orang-orang yang menunaikan shalat menjadi akrab dengan al-Quran dan memikirkan segenap konsepnya yang mendasar.[4]
Ibadah shalat wajib harian dengan semua rukunnya, sekalipun dalam skala kecil, mencerminkan keberadaan Islam yang dinamis. Islam jelas-jelas memiliki perhatian terhadap keadaan tubuh, pikiran, serta jiwa setiap individu masyarakat.
Unsur-unsur tersebut ditempatkan sesuai fungsinya masing-masing demi menciptakan kesejahteraan umat manusia. Selama menunaikan shalat, tubuh, pikiran, dan jiwa seorang hamba akan menjalankan fungsinya masing-masing.
Tubuh melaksanakan berbagai aktifitas ragawi: menggerakkan tangan, kaki, lidah, ruku’, duduk, berdiri, dan sujud. Sementara pikiran bertugas untuk menelaah makna kata, kalimat, serta pernyataan, sekaligus juga merenungkan landasan serta pook-pokok keislaman.
Adapun jiwa si hamba bertugas untuk merenungkan keberadaan Tuhan, mencari inspirasi, serta menghayati kedekatannya dengan Tuhan.
Kerendahan hati dan ketakutan kepada-Nya merupakan prestasi yang dicapai seseorang yang senantiasa membersihkan jiwanya. Telah dikatakan bahwa pemujaan merupakan rangkuman serta intisari setiap agama.
Demikian pula halnya ibadah shalat dalam Islam. Pemaduan jiwa dan tubuh, substansi dan makna, serta kehidupan dunia dan Hari Akhir merupakan ciri menonjol dari agama Islam. Dengan bantuan kekuatan dari (fisik, mental, dan spiritual) yang terpadu lewat penegakan ibadah shalat secara sempurna, seorang muslim akan mampu menggapai kedudukan yang luhur.
Ya, seorang ‘abid (ahli ibadah) hakiki akan mampu mengendalikan hasrat-hasrat rendah dan godaan-godaan setani lainnya. Namun bukan hanya pelaksanaan ibadah shalat yang membuahkan segenap manfaat tersebut. Persiapan untuk melaksanakan shalat juga memiliki perlbagai hikmah dan manfaat tersendiri. Dalam hal ini, al-Quran justru lebih banyak mengungkap perihal persiapan untuk menunaikan ibadah shalat ketimbang poros pelaksanaannya. Misalnya, seorang hamba (yang hendak melaksanakan shalat) yang mengumandangkan azan (waktu shalat).
Dengannya, ia tengah mengingatkan sesamanya untuk segera menegakkan shalat. Lebih dari itu, ia bermaksud mempengaruhi orang lain untuk mengingat Allah swt dan untuk merenungkan apa yang sedang dilakukan dan apa yang seharusnya dilakukan.
Kalau kita melihat keadaan seorang hamba dari dekat, kita akan menjumpai adanya perubahan sikap pada dirinya, baik yang berkenaan dengan perkataan maupun perbuatannya. Dengan kata lain, dirinya benar-benar memancarkan cahaya Ilahi. Cakrawala di sekelilingnya dan daya tarik perbuatannya mengundang banyak orang untuk hadir bersama-sama menunaikan shalat.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa seorang mukmin hakiki maupun sekumpulan ahli ibadah yang senantiasa berdiri dalam barisan shalat wajib (berjamaah) harian niscaya akan terhindar dari pelbagai problem serta penyakit sosial, seperti kejahatan, korupsi, dan tindakan-tindakan amoral lainnya. Sesungguhnya shalat mencegah manusia dari perbuatan-perbuatan keji.[5]
Dalam pergulatan hidup sehari-hari, kita tentu merasakan sendiri betapa sulitnya memerangi perbagai godaan, hasrat, kebutuhan, dan dorongan nafsu. Satu-satunya senjata yang harus dimiliki seseorang demi membungkam semua itu adalah kekuatan kehendak dan pengendalian diri.
Pada saat yang sama, kekuatan jahat akan berusaha memalingkan dirinya dari jalan yang lurus. Dengan hilangnya kendali diri, seseorang pada dasarnya tengah membuka peluang lebar bagi kekuatan jahat untuk menyesatkannya.
Setan lebih mengincar dan menyukai orang-orang yang ingin berbuat demi kemanusiaan atau membuat sesuatu yang bersejarah. Untuk itu, lebih dari yang lain, mereka harus senantiasa bersikap waspada dan berhati-hati. Itu dimaksudkan agar semangat serta tujuan hidup mereka tidak sampai goyah.
Ibadah shalat dalam Islam mengandung kekuatan yang sungguh luar biasa dan menakjubkan. Dengan kata lain, ibadah shalat berperan dalam membentangkan tali yang menghubungkan kaum lemah dan tertindas dengan Allah yang Mahakuasa, sumber segala kebajikan.
Ketika hubungan tersebut telah terbina, seseorang akan merasakan dirinya jauh lebih kokoh, tegar, dan stabil. Siapapun tentu bisa memanfaatkan shalat demi mengubah kelemahan menjadi kekuatan serta demi memperbarui keyakinan dan semangatnya.
Selama masa kebangkitan Islam, Nabi saw harus menghadapi sekumpulan orang jahil dan pembangkang. Beliau saw kemudian diperintahkan Allah swt untuk menunaikan ibadah shalat malam.
“Wahai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah al-Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.” (al-Muzzammil: 1 – 5)
Marilah kita telaah lebih jauh kandungan makna ibadah shalat harian, tanpa harus terjebak pelbagai istilah tentangnya.
Ibadah Shalat
I. Allahu Akbar (Allah Mahabesar)
Dengan mengucapkan kalimat pembukaan nan suci ini, seorang hamba akan memulai ibadah shalatnya. Allahu Akbar, Allah Mahabesar; maksudnya, Allah swt lebih besar dari yang dapat kita bayangkan; lebih besar dari seluruh tuhan lainyang disembah manusia sepanjang sejarah; lebih besar dari seluruh kekuatan dan kekuasaan yang paling menakutkan sekalipun, yang dijadikan sandaran sekaligus tempat bergantung umat manusia; lebih besar dari orang-orang yang paling berani membangkang dan melanggar hukum-hukum-Nya. Setiap orang yang mengetahui dan berupaya menyesuaikan aktifitas kehidupannya dengan prinsip-prinsip tersebut niscaya akan merasakan adanya kekuatan luar biasa dalam dirinya setelah mengucapkan kalimat Allahu Akbar. Ia merasa yakin dirinya berpijak di atas landasan yang kokoh, aman, dan menjanjikan kebahagiaan.
Dengan mengucapkan kalimat agung ini, seorang hamba resmi memasuki shalatnya. Setelah itu, masih dalam keadaan berdiri, dirinya diharuskan membaca surat al-Fatihah[6], yang kemudian dilanjutkan dengan membaca surat lain dalam al-Quran.
II. Isi Surat al-Fatihah
A. Bismillahir Rahmanir Rahim (Dengan nama Allah Yang Mahapengasih Mahapenyayang)
Dengan nama Allah yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu dan kemurahan-Nya bersifat kekal nan abadi. Kalimat bismillahirrahmanirrahim merupakan pembuka setiap surat dalam al-Quran dan seyogianya dibaca seorang muslim sebelum memulai setiap aktifitasnya. Sungguh teramat penting untuk memulai segala sesuatu dengan nama Allah yang Mahaagung.
Dimulai dan diakhirinya kehidupan seseorang harus disertai dengan mengucapkan nama Allah swt. Seorang muslim akan memulai hari-hari kehidupannya di dunia ini dengan menyebut nama Allah swt.
Dan dirinya juga harus mengakhiri aktifitas sehari-harinya dengan menyebut nama-Nya. Ia pergi tidur seraya mengingat dan mengharap pertolongan Allah swt; demikian pula ketika dirinya bangun di pagi hari untuk memulai kembali kegiatan rutinnya. Akhirnya, ia meninggalkan kehidupan di dunia fana ini, untuk kemudian melangkah menuju keabadian, dengan menyebut nama Allah swt.
B. Alhamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin (Segala Puji Bagi Allah Tuhan Semesta Alam)
Segala puja-puji hendaknya dipanjatkan ke hadirat Allah swt karena seluruh keagungan hanyalah milik-Nya dan segenap rahmat hanya tercurah dari-Nya. Segenap kebajikan dan kesempurnaan hanya kembali kepada-Nya.
Dengan memuji Allah swt, sesungguhnya kita tengah memuji kebaikan dan kesempurnaan mutlak. Dan semua itu niscaya akan menuntun kita dalam menggapai kesempurnaan dan kebaikan insani.
Kita harus yakin bahwa sejumlah tulang yang kuat dalam tubuh kita semata-mata berasal dari-Nya. Itulah Dia yang menciptakan kita sedemikian rupa sehingga kita mampu meraih kebajikan dan menggapai kemuliaan diri. Allah swt telah menganugerahkan kita kemampuan untuk merancang keputusan demi mencapai suatu tujuan yang penuh berkah.
Dengan anugerah Allah swt berupa kemampuan dan kecerdasan diri tersebut, manusia diharapkan dapat memanfaatkan segenap potensi fitrahnya demi menciptakan kesejahteraan bagi dirinya dan orang lain. Dan Allah swt melarang manusia untuk mementingkan dirinya sendiri dan menyia-nyiakan atai menyalahgunakan potensinya itu.
Pernyataan Rabbil ‘Alamin (Tuhan semesta alam) menyiratkan bahwasanya selain bumi ini, terdapat pula bumi-bumi lainnya yang terhubung satu sama lain.
Karenanya, orang yang beriman akan berpikir bahwasanya di jagat raya ini terdapat banyak planet, galaksi, dan sesuatu lainnya yang berada di luar jangkauan penglihatannya yang serba terbatas. Allah swt adalah Pemilik alam semesta dan segenap apa yang ada di dalamnya.
Dengan itu, wawasan berpikir seorang hamba akan semakin luas dan mendalam. Dan dirinya akan merasa bangga dan beruntung dikarenakan memiliki kemampuan untuk memahami semua itu.
Dirinya akan menjumpai kenyataan bahwa seluruh umat manusia, hewan, tumbuhan, dan segenap keberadaan lainnya di jagat raya ini semata-mata diciptakan Allah swt. Allah swt bukan hanya Tuhan dirinya, sukunya, bangsanya, atau sejenisnya semata.
Namun, Allah swt adalah juga Tuhan dari segenap planet, galaksi, dan berjuta-juta bintang di langit. Allah swt menantiasa mengawasi kita semua serta menyayangi segenap ciptaan-Nya; mulai dari yang terkecil (seperti semut), sampai yang paling besar sekalipun (galaksi, misalnya).
Dengan meyakini konsep tersebut, seorang hamba tidak akan merasa hidup sendirian. Ia yakin bahwa dirinya merupakan bagian dari keluarga besar umat manusia serta pelbagai mekhluk lainnya. Lebih khusus lagi, ia akan memiliki hubungan yang dekat dengan maujud lain yang seolah-olah menyertainya menaiki bahtera yang sama; bahtera mana yang secara umum bergerak berdasarkan sunnatullah (ketetapan Allah).
Dengan meyakini bahwa dirinya memiliki keterkaitan dengan makhluk lain, ia kemudian merasa berkewajiban untuk membantu dan membimbing umat manusia (ke jalan yang benar) sesuai dengan kemampuannya.
Selain itu, ia juga akan semakin terpacu untuk merenungkan dan mengkaji lebih mendalam, apa-apa yang ada di jagat alam ini. Kelak, ia akan meraih keuntungan yang melimpah-ruah dari semua itu dan akan senantiasa memanfaatkannya secara bijak, sesuai dengan fungsinya masing-masing.
C. Ar-Rahmanir Rahim (Mahapengasih Mahapenyayang)
Secara umum, kemurahan dan kasih sayang Allah swt meliputi segenap makhluk-Nya. Dengan kata lain, berdasarkan hukum alam, seluruh makhluk akan memperoleh keuntungan dari segenap pemberian Allah (Rahman).
Namun, di sisi lain, terdapat pula kasih sayang dan rahmat Allah swt yang hanya diperuntukkan bagi umat manusia, khususnya bagi orang-orang yang menyembah-Nya dan mematuhi segenap perintah-Nya.
Kemurahan khusus ini bersifat abadi dan akan menantiasa menyertai seseorang untuk selama-lamanya (Rahim). Berdasarkan itu, kita memahami bahwasanya terdapat dua jenis rahmat Allah; yang satu bersifat umum dan sementara, di mana setiap orang bisa mendapatkannya; dan satunya lagi bersifat khusus dan abadi, di mana hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang selalu memperbaiki dirinya.
Penyebutan nama Allah swt dan pengakuan atas belas kasih-Nya merupakan pernyataan pembuka dari al-Quran, shalat, dan setiap surat dalam al-Quran. Penempatan kalimat tersebut lebih menekankan sifat pengasih dan penyayang-Nya ketimbang kemurkaan dan kemarahan-Nya.
Adapun sifat yang terakhir disebutkan lebih ditujukan bagi orang-orang yang keras kepala, gemar membangkang, tidak jujur, dan berperilaku buruk. Ya, kemurahan-Nya sungguh tak terbatas dan meliputi segenap makhluk-Nya.[7]
D. Maliki Yaumid Diin (Pemilik Hari Kemudian)
Hari kemudian adalah Hari akhir. Setiap orang tentu akan mengalaminya. Baik orang-orang ateis (tidak bertuhan) dan materialis, maupun orang-orang beriman dan bertuhan sama-sama bersepakat tentang adanya Hari Akhir. Namun, setiap kelompok memiliki penafsiran masing-masing tentangnya. Kaum materialis lebih memandangnya sebagai proses mengalir dan berlalunya waktu (jam, hari, dan tahun), yang darinya kemudian terjadilah ketuaan dan kematian.
Namun, orang-orang yang beriman kepada Allah swt memiliki pandangan jauh lebih luas. Dirinya tidak menganggap bahwa kehidupan di dunia berakhir begitu saja. Sebaliknya, ia meyakini adanya Hari Pengadilan.
Hal ini meniscayakan dirinya hanya akan melakukan perbuatan yang memiliki ganjaran pahala seraya menghindari perbuatan dosa, khususnya terhadap mekhluk lain.
Sebabnya, di Hari Pengadilan kelak, ia akan ditanya tentang apa yang telah diperbuat selama hidup di dunia. Seseorang yang berpandangan demikian niscaya akan berusaha menjaga perilakunya dan tetap menyandarkan harapannya semata (kepada Allah swt) sampai kapan pun. Mengingat bahwa dirinya kelak akan dibangkitkan di hadapan Allah swt, penguasa Hari Pengadilan, seorang hamba tentu akan berusaha untuk mengarahkan perhatiannya semata-mata kepada Allah swt dan hanya berbuat demi menggapai keridhaan-Nya.
Ia mencari pengetahuan dengan tujuan meningkatkan kualitas dirinya dan juga untuk membantu manusia. Inilah perbuatan yang sesuai dengan keinginan Allah swt.
Pada sisi lain, dengan mengetahui bahwa Allah swt akan menjadi hakim absolut di Hari Pengadilan nanti, dirinya sama sekali tidak akan tertarik untuk melakukan tipu daya, penyelewengan dan kemunafikan. Ia juga akan berkeyakinan bahwa sesuatu yang diperoleh dengan cara yang keliru atau kesejahteraan hidup yang dibangun di atas dasar kezaliman tidak akan pernah menguntungkan dirinya. Sebaliknya, ia malah akan diganjar hukuman nan pedih atas perbuatannya itu. Sejauh kini kita telah membahas bagian pertama dari surat al-Fatihah yang berkenaan dengan pujian kepada Allah swt dan sifat-sifat-Nya. Bagian kedua darinya (yang akan kita bahas di bawah ini) berkenaan dengan ketundukan seorang hamba kepada Allah demi memohon keselamatan dari-Nya serta mengharap agar Allah swt membimbingnya di atas jalan yang lurus. Beberapa ajaran ideologi Islam yang bersifat mendasar juga ditetapkan dalam bagian ini.
E. Iyyaaka Na’budu (Kepada-Mu lah Kami Menyembah)
Maksudnya, segenap keberadaan kita dan apapun kemampuan kita (baik secara fisik, mental, maupun spiritual) semata-mata berada di tangan Allah swt. Dan kita wajib melaksanakan segenap perintah-Nya.
Pernyataan suci ini pada dasarnya menghendaki seorang hamba tunduk patuh di hadapan Allah swt dan membebaskan dirinya dari segenap belenggu penghambaan kepada tuhan-tuhan lain. Dirinya wajib menolak seluruh tuhan lain, terlebih tuhan-tuhan yang dalam sejarah umat menusia di masa lalu telah menciptakan pembedaan sekaligus penindasan di tengah-tengah masyarakat. Setiap orang yang beriman tentunya selalu berpikiran maju.
Ia beserta orang-orang beriman lainnya tidak akan pernah tunduk kepada orang lain atau sistem tertentu, kecuali orang atau sistem tersebut berpijak di atas jalan yang diridhai Allah swt.
Prinsip utama dalam Islam serta segenap agama langit lainnya adalah tidak menyembah apapun kecuali Allah swt dan hanya tunduk patuh kepada-Nya.
Sejumlah orang tidak memahami makna yang sebenarnya dari prinsip ini dan secara tidak sadar menyembah makhluk lain. Mereka menganggap bahwa hanya dengan berdoa kepada Allah swt dan mengingat nama-Nya, dirinya telah menyembah semata-mata kepada Allah swt.
Dalam pandangan al-Quran dan hadis Nabi saw, cara berpikir semacam itu jelas keliru. Makna penyembahan atau pemujaan dalam al-Quran dan juga hadis Nabi saw adalah kepatuhan dan ketundukan mutlak terhadap segenap perintah. Perintah tersebut bisa berasal dari sumber tersendiri ataupun kolektif.
Dan dalam menunaikan ibadah shalat, seseorang bleh jadi menyertakan ketundudukannya, atau bahkan tidak sama sekali. Karena itu, siapapun yang tunduk serta melaksanakan perintah seorang penguasa atau sistem yang zalim yang tidak mendasari dirinya di atas hukum-hukum Allah swt, tak lain dari pengikut dan pendukung sang penguasa atau sistem tersebut.
Dan bila orang-orang seperti itu mengabaikan beberapa ketentuan (penguasa atau sistem yang zalim) dalam kehidupan pribadi atau sosialnya untuk kemudian menyembah Allah swt, maka sesungguhnya mereka adalah kaum politeis (menyembah lebih dari satu tuhan.
Adapun jika tidak pernah menyembah Allah swt sama sekali, maka mereka tergolong orang-orang yang kafir (orang-orang yang menyangkal keberadaan Tuhan atau bertingkah laku seolah-olah Tuhan tidak ada).
Dengan ditopang pengetahuan tentang Islam, kita dengan mudah dapat menemukan alasan tentang mengapa seluruh agama langit sebelum Islam sangat menjunjung semboyan dasar laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan kecuali Allah).[8] Kita juga akan memahami apa yang mereka katakan, apa tujuan utamanya, dan siapa-siapa yang menentang.
Konsep yang berkenaan dengan persoalan penyembahan yang acapkali dinyatakan dalam al-Quran dan hadis Nabi saw[9] ini kiranya sangatlah jelas sehingga dipastikan akan menghapus keraguan yang muncul dalam benak intelektual. Sebagai contoh, al-Quran mengatakan:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Mahaesa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (at-Taubah: 31)
Abu Bashir meriwayatkan bahwa Imam Ja’far as-Sadiq as berkata kepada para pengikut beliau, “Kalian adalah orang-orang yang menjauhkan diri dari ketundukan terhadap segenap aturan yang zalim. Mematuhi seseorang yang zalim adalah sama dengan menyembahnya.”
Kitab tafsir Nur ats-Tsaqalain (vol. 5, hal 481) menyebutkan ayat lain yang berbunyi:
“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- Nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku.”  (Az-Zumar (39): 17)
F. Wa Iyyaaka Nasta’iin (Dan kepada-Mu lah Kami Mengharap Pertolongan)
Kita tentu tidak akan pernah mengharapkan pertolongan dari musuh-musuh-Nya atau dari seseorang yang menyebut dirinya tuhan. sebabnya, mereka tidaklah menyembah Tuhan dan tidak akan bersungguh-sungguh menolong orang-orang yang menyembah atau mencari Tuhan.
Jalan Allah adalah jalan lurus dan sangat bersahaja yang dilintasi seluruh nabi. Jalan tersebut mengajarkan agar dalam kehidupan sosial, setiap individu menjalin hubungan persaudaraan antar satu sama lain. Lebih dari itu, jalan tersebut juga menghendaki terwujudnya gagasan tentang kerukunan hidup bersama antarbangsa.
Sebuah sistem yang tunduk kepada Allah swt sama sekali bersih dari tindakan pelecehan, ketidakadilan dan penindasan terhadap sesama. Lagipula, keberadaan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan justru sangat dijunjung tinggi.
Demi melanggengkan eksploitasinya, hampir semua rezim dan orang yang menggenggam kekuasaan berusaha mati-matian untuk menghapus cita-cita kemanusiaan tersebut dari benak masyarakatnya. Jadi, bagaimana mungkin seseorang bisa mengharapkan bantuan atau dukungan dari para perampas kekuasaan atau penjahat politik seperti itu?
Mereka (para rezim yang jahat) secara terus-menerus menentang kebenaran dan begitu bernafsu memerangi kaum yang beriman. Oleh sebab itu, kita harus meminta pertolongan semata-mata kepada Allah swt dan berdiri di atas kaki sendiri serta memanfaatkan bakat dan potensi dasar pemberian-Nya demi meraih tujuan kita.
Mempelajari prinsip-prinsip yang mendasari ayat ini serta memahami pelbagai hubungan kompleks yang terkandung di dalamnya, akan membuka wawasan pemikiran dan meningkatkan standar kehidupan kita.
G. Ihdinash Shiratal Mustaqiim (Tunjukilah Kami Jalan Yng Lurus)
Seluruh umat manusia jelas lebih membutuhkan Allah swt ketimbang yang lain sebagai pembimbing hidup. Dan secara pasti, kebutuhan tersebut nampak sebagai bentuk pengharapan dalam surat al-Fatihah, yang sekaligus menjadi prolog dari al-Quran dan juga bagian terpenting dari shalat.
Hanya lewat bimbingan Allah swt saja kecerdasan dan kebijaksanaan seseorang akan dimanfaatkan secara konstruktif dan diarahkan semata-mata bagi kebaikan.
Memanfaatkan kecerdasan dan kebijaksanaan di atas jalan kezaliman dan kebatilan tak ubahnya memberikan lampu kepada seorang pencuri di tengah kegelapan atau membiarkan orang gila dengan sebilah pisau belati nan tajam di tangannya. Jalan kebenaran adalah jalan yang sangat menyenangkan, yang melazimkan seseorang melangkah maju dan memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia.
Para nabi Allah lah yang telah merintis dan melintasi jalan ini. Dengan melintasi jalan ini, niscaya seseorang akan menapaki kemajuan dirinya dan tanpa kesulitan mampu mencapai tujuan akhirnya yang mulia.
Hal ini sangatlah masuk akal. Sebabnya, sudah menjadi ketetapan hidup bahwa seseorang harus mengembangkan dan meningkatkan kualitas dirinya semaksimal mungkin.
Dan apabila semua itu dijalankan dengan sungguh-sungguh, niscaya akan tercipta kemakmuran, kebebasan, sikap saling menghargai, dan rasa persaudaraan dalam tubuh masyarakat. Dengan demikian, segenap musuh besar kemanusiaan pun akan segera binasa. Bagaimana cara mengenali jalan ini dan membedakannya dari segenap jalan yang menyesatkan?
Al-Quran menyajikan gambaran yang paling ringkas sekaligus paling gamblang dalam ayat berikutnya, yang akan kita bahas di bawah ini.
H. Shiraathal Ladhiina An’amta ‘Alaihim (Jalan Orang-orng Yang Engkau Ridhai)
Siapakah orang-orang yang diridhai dan dirahmati-Nya? Dalam hal ini, yang disebut dengan rahmat-Nya bukanlah martabat, kesehatan, dan harta yang dimiliki seseorang.
Seabnya, kita acapkali menyaksikan bagaimana musuh-musuh besar Allah swt dan para sekutunya hidup bergelimang kekayaan, kedudukan, serta segenap hal lainnya yang bersifat material. Makna rahmat atau anugerah Allah swt tentunya jauh lebih tingi dan lebih bernilai dari sekadar itu, seperti luasnya wawasan berpikir, kebijaksanaan, dan kedalaman spiritual. Sungguh sangat beruntung orang-orang yang memperoleh segenap nikmat anugerah tersebut; mereka akan benar-benar menghargai serta menyayangi segenap makhluk ciptaan-Nya, termasuk terhadap dirinya sendiri.
Dalam sejumlah ayat, al-Quran menyebut mereka sebagai:
“Barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu; nabi-nabi, para shiddiqin[10], orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shalih…” (an-Nisa’: 69)
Sesungguhnya ketika membaca ayat yang tercantum dalam surat al-Fatihah ini, seorang hamba tengah berharap kepada Allah swt untuk menuntunnya di atas jalan para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang yang shalih. Jalan ini telah terbentang sejak dululkala dan telah banyak dilintasi orang-orang terkemuka dalam sejarah. Dan adalah teramat jelas, ke mana muara akhir dari jalan tersebut.
Namun bagaimanapun juga, disamping jalan ini terbentang pula jalan lain yang dilintasi sebagian orang. Setiap orang yang beriman kepada Allah niscaya akan berlepas diri dari jalan tersebut serta dari orang-orang yang melintasinya. Dirinya benar-benar takut terhempas atau tergoda untuk berjalan di atas jalan tersebut. Ya, itulah jalan yang dimurkai Allah swt.
I. Ghairil Maghdhubi ‘Alaihim (Bukan Jalan Orang-orang Yang Engkau Murkai)
Siapakah orang-orang yang membangkitkan kegusaran dan kemurkaan Allah swt?
Sungguh teramat banyak! Di antaranya adalah orang-orang yang menentang Allah serta orang-orang korup yang senantiasa menjerumuskan orang-orang dungu ke dalam kubangan dosa. Termasuk juga para penindas yang suka memaksa dan menekan orang-orang untuk berbuat keburukan dan kejahatan, ara tiran, para pendusta, dan orang-orang culas.
Sepanjang sejarah, para diktator dan penindas selalu hidup bermewah-mewah di atas penderitaan serta kehinaan orang banyak.
Ini sekaligus bisa dijadikan bukti bahwa kemurkaan Allah secara khusus hanya ditujukan kepada orang-orang yang secara sadar dan sengaja berbuat dosa; bukan kepada orang-orang yang secara tidak sengaja dan tidak sadar melakukan kekeliruan atau dosa.
Sejarah menunjukkan bahwa pada umumnya orang-orang kaya dan orang-orang yang menggenggam kekuasaan di tangannya memiliki keyakinan agama yang begitu dangkal. Bahkan beberapa di antaranya sama sekali tidak memilikinya. Di samping kedua kelompok terkutuk tersebut, terdapat pula kelompok ketiga yang juga menjadi sasaran kutukan. [11] Isi ayat penutup (dalam surat al-Fatihah) sesungguhnya merujuk kepada kelompok terakhir ini.
J. Waladhdhaalliin (Juga Bukan Jalan Orang-orang Sesat)
Siapapun yang menapaki jalan selain jalan Allah –lantaran kebodohan atau mengikuti orang-orang sesat yang dsangkanya melangkah di jalan benar- niscaya kelak akan menjumpai situasi yang tidak diinginkan. Banyak orang di masa lalu yang mengikuti, mempercayai, mengagumi, dan menobatkan pemimpinnya secara membabi-buta. Apa akibatnya?
Ya, orang-orang tersebut malah terjerumus ke jurang kesengsaraan lantaran perilaku kotor pada pemimpinnya itu di kemudian hari. Namun sayang, orang-orang tersebut sudah betul-betul terikat dengan jalan pilihannya sendiri dan akalnya juga sedemikian terbelenggu sehingga menjadikannya tidak mengindahkan sama sekali risalah kebenaran yang dikumandangkan para nabi Allah